Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Yosias Iyai Aktivis yang Konsisten Hingga Napas Terakhir

Minggu, 10 Agustus 2025 | Agustus 10, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-11T11:03:46Z

(Yosias Iyai mengangkat tangan mengepal saat memimpin aksi massa, menunjukkan semangat perjuangan yang ia pegang hingga akhir hayatnya|Dokumentasi Musa Boma untuk DEIYAIWIYAINES.COM)

Nabire, DEIYAI WIYAI NEWS – Minggu dini hari, 10 Agustus 2025, pukul 05.48 WIT, aktivis Papua, Yosias Iyai, menghembuskan napas terakhir di RSUD Siriwini, Nabire.


Perjuangan panjangnya melawan penyakit yang diderita sejak 2011 berakhir sudah. Keluarga, kerabat, dan kawan seperjuangan mengenang Yosias sebagai sosok konsisten, bertanggung jawab, dan pantang menyerah, meski tubuhnya sering didera rasa sakit.


Belajar Sambil Mengajar

Tahun 2011, Yosias menamatkan pendidikan di SMA YPPPK Adhi Luhur, Colese Lecoq d’Armanvile. Keterbatasan biaya membuatnya menunda kuliah dan kembali ke kampung halamannya di Mapia, Dogiyai, untuk mengajar mata pelajaran Ekonomi di SMA Negeri setempat.

Setahun kemudian, ia berangkat ke Bogor untuk melanjutkan pendidikan. Namun, sakitnya kambuh sehingga ia harus kembali ke Papua. Pada 2014, ia mencoba lagi. Sambil menempuh studi di sekolah tinggi ekonomi, ia aktif di Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).

Pada 2017, penyakitnya kembali memaksanya pulang. Meski demikian, Yosias tidak berhenti belajar. Ia mengikuti kursus Microsoft Office, komputer, dan manajemen bisnis. Awal 2018, ia memutuskan menetap di Papua.


Belajar Menjadi Kritis

Sifat kritis Yosias sudah tumbuh sejak SMA. Saat menjadi Ketua Asrama Taruna Karsa, ia menggagas program Analisis Sosial (Ansos). Setiap akhir pekan, ia mengajak siswa mengamati aktivitas mama-mama Papua di Pasar Karang atau Pasar Sentral Oyehe, mewawancarai mereka, lalu menulis hasil pengamatan.

Tulisan siswa-siswa bimbingannya bahkan dimuat di koran Papua Pos Nabire edisi cetak, seperti artikel “Potret Buram Mama-Mama di Pasar Karang” karya Yohanes Gobai, siswa kelas X saat itu.


Menjadi Pejuang Revolusioner

Meski kondisi fisiknya rapuh, Yosias tak pernah jauh dari dunia pergerakan. Pada 2012, ia resmi bergabung dengan AMP Komite Kota Bogor, aktif mengikuti diskusi, seminar, hingga aksi massa di Bogor dan Jakarta.

Tahun 2015, ia terpilih menjadi Ketua AMP Bogor, menggantikan Samuel Amona Nawipa. Pada tahun yang sama, ia dipercaya mengisi Biro Keuangan AMP Pusat. Hingga awal 2018, ia terlibat penuh sebelum mengundurkan diri dalam Kongres Nasional AMP IV dan kembali ke Papua.

Di tanah kelahirannya, ia bergabung dengan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Mapia. Pada 2019, ia ikut aksi menolak rasisme di Deiyai. Aksi tersebut berakhir ricuh, memakan korban jiwa, dan berujung pada penangkapan dirinya bersama Ketua KNPB Deiyai, Step Pigai, dan aktivis lainnya.

Setahun kemudian, Pengadilan Negeri Nabire memutuskan mereka tidak bersalah. Yosias pun kembali aktif, khususnya di sektor diplomasi KNPB Mapia: menggelar pendidikan politik, diskusi, dan agenda penyadaran. Bahkan pada 2024, meski baru keluar dari rumah sakit setelah dua bulan dirawat, ia masih berjalan kaki melewati dua gunung untuk membentuk Sektor Takadei di Topo, Distrik Uwapa.


Tulang Punggung Keluarga

Di luar aktivitas organisasi, Yosias adalah tulang punggung keluarga. Ia kerap menjadi sopir lintas Nabire–Paniai, membiayai pendidikan adik-adiknya, serta menopang istri dan putri semata wayangnya. Istrinya, yang baru lulus kuliah kedokteran, mendampingi saat Yosias menghembuskan napas terakhir.


Hari-Hari Terakhir

Menjelang akhir hayat, kondisinya terus menurun. Dari RSUD Paniai, ia dirujuk ke Nabire. Dokter mendiagnosis gagal ginjal dan merekomendasikan hemodialisis. Awalnya, pihak rumah sakit menyatakan prosedur tidak bisa dilakukan di Nabire dan akan dirujuk ke Jayapura. Namun, malam berikutnya, informasi berubah: cuci darah dapat dilakukan di Nabire.

Keluarga menerima keputusan itu meski kecewa. “Ikuti saja apa yang mereka bilang,” ujar Iyaibo, tak ingin perdebatan memperlambat penanganan.

Pagi itu, pukul 05.48 WIT, Yosias memberi hormat terakhirnya.


Jejak yang Ditinggalkan

Bagi sebagian orang, hidup adalah mencari kenyamanan. Bagi Yosias, hidup adalah tanggung jawab. Meski tubuhnya rapuh, ia tetap berdiri di garis depan perjuangan politik, sosial, dan keluarga.

Di mata kawan-kawan seperjuangan, ia adalah sosok yang tidak pernah mengeluh, tidak pernah menolak tugas, dan selalu tersenyum, bahkan saat rasa sakit menggerogoti tubuhnya.


Warisan yang Tak Tertulis

Tidak semua warisan bisa dihitung dengan angka atau ditulis di dokumen resmi. Warisan terbesar Yosias adalah semangatnya keyakinan bahwa perubahan hanya mungkin terjadi jika kita mau bergerak, meski keadaan tidak berpihak.


Menutup Cerita, Membuka Jalan Baru

Jalan yang ia tempuh berhenti di RSUD Siriwini pada Minggu pagi itu. Namun, jalan yang ia buka tetap terbentang jalan pendidikan, kesadaran politik, dan keberanian bersuara.

Putri kecilnya mungkin belum mengerti sepenuhnya siapa ayahnya. Tapi kelak, ketika ia membaca catatan perjuangan itu, ia akan tahu ayahnya adalah sosok yang tidak pernah mundur, bahkan di detik-detik terakhir hidupnya.

Hormat terakhir Yosias bukan sekadar salam perpisahan. Itu adalah undangan bagi mereka yang ditinggalkan untuk melanjutkan langkah di jalan yang mungkin panjang dan berat, namun diyakininya hingga napas terakhir.

Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Mapia menyampaikan duka mendalam. “Kami kehilangan salah satu aktivis Pro Papua Merdeka yang vokal, menguasai sejarah dan materi perjuangan, serta aktif menjalankan tugas pendidikan politik,” ujar perwakilan KNPB Mapia.
TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update