(Ket: Mama Laurensia yang sedang menjala ikan di sungai Digoel. Sumber : Project Multatuli 2023)
(Sebuah Kisah Mama-Mama adat Suku Awyu Papua Selatan melawan koorporasi sawit dan terdampak perubahan iklim.)
Penulis: Oscar Ugipa | Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unika Atma Jaya
Siang itu, nyanyian “Napiyee napiyoo kiso dego nereke niyabadii” menggemah di sepanjang sungai Digul dinyanyikan oleh seorang perempuan Suku Awyu, Mama Laurensia Yame, Perempuan adat Suku Awyu dari Kali Wosu, Kampung Ampera, Distrik Mandobo menyusuri sungai itu sembari mencerna kehidupan masa lalunya yang ditelan oleh korporasi sawit.
Ia mendayung perahu berukurang kecil yang memuat peralata pancing ikan, dari mata air sungai Digul ke arah muarah sambil membuang jaring ikan megikuti arus ke Wosu.
”Ini semua sudah berubah, pohon sudah tidak ada, sungai jadi kabur, ikan juga susah dapat. Kata perempuan itu sambil menengok kiri kanan sesekali sepanjang sungai itu dengan nada yang penuh risau.
Boven Digoel, Papua Selatan, sekitar 280.000 atau diperkiran empat kali Ibu Kota Jakarta hutan telah dialokasikan untuk diahlifungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit melalui Proyek Tanah Merah. Tanah adat itu menjadi perebutan para investor Perusahaan seperti PT Indo Asiana Lestari, PT Menara Group, dan lainnya terlibat dalam pembukaan hutan ini. Namun, proyek ini menghadapi banyak masalah, termasuk pelanggaran hukum seperti manipulasi dokumen AMDAL dan pelibatan masyarakat adat tanpa persetujuan yang sah.
Kehidupan berubah sangat drastis semenjak adanya ekspansi kelapa sawit di Boven Digoel, lantaran terjadinya memecah belah suku suku terbesar di wilayah tersebut. Mereka yang setuju dengan alasan perusahan akan membantu memenuhi kebutuhan dan jaminan pekerjaan, sementara mereka yang menolak meyakini bahwa hutan sudah cukup untuk menghidupi mereka, sawit justru membawa penderitaan baru.
Dampaknya mencakup kerusakan ekosistem yang mengancam keanekaragaman hayati, kehilangan sumber penghidupan masyarakat adat suku Awyu terutam dusun sagu, dan meningkatnya risiko perubahan iklim akibat deforestasi masif Pemerintah Indonesia telah mencabut beberapa izin usaha, tetapi upaya hukum perusahaan masih terus berlangsung.
Mama Laurensia adalah satu dari sekian banyak Ibu-ibu yang mengahdapai arus perubahan iklim, kehadiran proyek tersebut merebut hutan adat yang merupakan satu-satunya sumber kehidupan mereka.
Sejak 1997, kesepakatan rahasia hancurkan surga Papua oleh beberapa perusahan sawit raksasa mulai ekspasi penggundulan hutan di Papua selatan. kondisi tersebut menyebabkan perempuan Papua Awyu kehilangan akses atas ruang produksinya: dusun, hutan, dan sungai; ruang hidup yang selama ini saling bergantung sebagai kesatuan ekosistem perawatan juga sumber penghasilan.
Perempuan yang memasuki usia lansia itu sering bermimpi, Moyang bilang pada saya, tanah itu tidak boleh dijual, tidak boleh dirusak, tanah itu mama.
“ Moyang itu memang asalnya dari tanah, tidak boleh dirusak, kalau kami jual tanah berarti kami sudah jual mama, karena kami asalnya dari tanah” ia mengucapkan itu dengan terbatah-batah, sesekali menyeka air mata di pipihnya.
Bagi Mama Laurensia, masa depan anak-anak dan cucunya kini terancam. Ia khawatir mereka tidak akan pernah merasakan keindahan dan kekayaan yang dimiliki hutan adat seperti sediah kalah. "Apa yang akan terjadi pada mereka, Apakah mereka harus pergi mencari kehidupan yang lebih baik di kota Atau mereka harus bertahan di sini, di tanah yang telah rusak?" Pertanyaan-pertanyaan itu selalu mengganggu pikirannya setiap malam.
Mama Laurensia, mencoba berbicara dengan pihak perusahaan, Ia berkali-kali memohon agar hutan adatnya tidak diganggu. “Kami akan memberikan kompensasi yang layak, rumah yang layak, kata seorang perwakilan perusahaan. Namun, kenyataanya yang diterima hanyalah janji-janji kosong.
Mestinya dalam hal kebijkan solusinya adalah mengarusutamakan perempuan dan kaum rentan dalam kebijakan koorporasi dengan memperhatiakn pola gender juga dalam kebijakan ekologi politik, berarti secara sistematis memasukkan perspektif, kebutuhan, dan pengalaman perempuan dalam semua tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan lingkungan. Seperti melibatkan salah satu perspektif analisis gender terhadap kebijakan lingkungan untuk mengidentifikasi dampak berbeda yang dialami oleh perempuan dan laki-laki. Juga memberikan ruang serta dukungan partisipasi perempuan. Serta penguatan kapasitas memberikan pelatihan dan dukungan kepada perempuan untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam memahami isu-isu lingkungan memperkerjakan mereka. (Yayasan KEHATI Indonesia :Mengarusutamakan Ekologi Politik Dalam Upaya Konservasi )
Kedamaian mulai terusik beberapa tahun terakhir. Perusahaan sawit datang dengan janji manis pembangunan dan pekerjaan. Mereka mengiming-imingi masyarakat dengan uang dan fasilitas. Awalnya, beberapa warga tergoda. Namun, Mama Laurensia tahu bahwa janji itu hanyalah ilusi. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Betapa tidak, tanah yang mereka janjikan untuk ditukar dengan uang adalah warisan nenek moyang yang tidak ternilai harganya.
Sore itu, awan telah berkurang dan langit mulai terlihat lebih cerah. Ia menyaksikan matahari perlahan-lahan tenggelam di balik cakrawala muarah sungai Digul, senja memancarkan warna-warni yang indah.
Mama Laurensia, memutuskan untuk pergi ke hutan yang lebih dalam, berharap bisa menemukan hewan buruan. Ia berjalan sejak fajar, menembus belantara yang masih tersisa. Namun, hingga matahari mulai tenggelam, Ia tidak juga menemukan apa-apa sampai senja menjemput pulang.
Saat itu untuk pertama kalinya setelah sekian lama berjuang memenuhi kebutuahan sehari-hari ditengah hutan yang gersang dibabat habis oleh Perusahaan, Ia melihat matahari terbenam dengan jelas diatas perahu di sungai wosu.
“ Mama lihat awan jatuh di tepi sungai Digul” adalah Ilustrasi sebuah kisah perjuangan Mama Laurensia memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam kondisi tempat tinggalnya yang berubah drastis karena kehadiran perusahaan sawit, dimana sebelum fajar pagi datang, ia keluar utuk menafkahi keluarganya namun realita datang tidak sesuai harapan.
Di sela kesibukanya sesekali ia menengok kiri-kanan melihat alam sekitar seolah tak memihak padanya, sembari ia duduk memikirkan kehidupan sebelumnya yang jauh dari kata susah. Tentu hal tersebut menyita banyak waktu pikiran dan perasaannya.
Tidak hanya hewan buruan yang sulit didapat, tetapi ikan di sungai pun semakin langka. Setiap kali Mama Laurensia dan tetangganya pergi menjala ikan, mereka hanya mendapatkan segelintir ikan kecil yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga. Terkadang anak-anak di desa itu sering kali tidur dalam keadaan lapar karena kekurangan makanan.
Keadaan ini membuat kehidupan sehari-hari menjadi semakin berat. Para Ibu di kampung Wosu harus berjuang lebih keras untuk menyediakan makanan bagi keluarga mereka. Ia harus berjalan lebih jauh, lebih lama, dan dengan risiko yang lebih besar. Rasa cemas dan frustasi menghantui setiap langkah. "Apa yang akan kita makan hari ini?" pertanyaan itu selalu muncul di benak Mama Laurensia setiap pagi.
Dalam sebuha laporan tahunan WRI Indonesia, menjelaskan bahwasanya: perempuan Papua dan anak-anak menghadapi dampak yang lebih kompleks. Hal ini dikarenakan tradisi budaya di Indonesia yang cenderung primitif, seperti : perempuan memiliki tanggung jawab besar terhadap kebutuhan rumah tangga, termasuk juga memenuhi kewajiban sosial. Ketika kekeringan terjadi atau sumber daya menjadi langka akibat perubahan iklim, beban kerja mereka meningkat. Anak-anak, terutama yang berasal dari keluarga miskin, sering kali terpaksa putus sekolah untuk membantu orang tua mereka. Hal ini tidak hanya menghambat perkembangan mereka tetapi juga memperkuat siklus.
Dalam realitas kehidupan perempuan Papua diyakini sebagai penghasil pangan utama dalam keluarga, sehingga perempuan dianggap paling memahami dengan baik kondisi alam dan perubahan ekologi dari waktu ke waktu. Sayangnya, perubahan tersebut berpengaruh besar pada pemenuhan pangan keluarga. Dalam kondisi seperti ini perempuan harus lebih bekerja keras untuk memastikan kesediaan pangan keluarga harus terpenuhi.
Mereka memegang kunci kendali pada pengelolaan sumber daya alam: pengetahuan sejarah suku, ilmu pengobatan, pengetahuan tata cara berladang, dan pengetahuan tradisional menjaga kelestarian alam untuk kehidupan.
Selain pemenuhan kebutuhan keluarga, perempuan juga berperan pada pemenuhan kebutuhan adat. Dalam berbagai upacara adat, kesuksesan acara sangat bergantung pada perempuan. Ketersediaan pangan dan kelancaran rangkaian ritual menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Mereka berada dibalik layar dalam mempengaruhi semua keputusan adat dan menjadi aset kebanggaan.
Di tengah hiruk-pikuk modernisasi dan eksploitasi sumber daya alam, perempuan terutama mereka yang termarginalisasi dan masyarakat adat menjadi benteng yang tangguh dalam perjuangan melawan perubahan iklim.
Hidup mereka yang selaras dengan alam telah terbukti menjaga keseimbangan ekosistem yang vital bagi bumi. Itu mengapa orang asli Papua sangat mengahargai perempuan-perempuan Papua dalam kontek Ekofemisme.
Refrensi:
- https://www.youtube.com/watch?v=wzWEWGnQ_Xo&t=78. (Diakes 12 Desember 2024.pukul 10: 00)
- https://wri-indonesia.org/id/wawasan/ibu-bumi-papua-relasi-perempuan-adat-dengan-alam-di-tanah-papua. (Diakses 13 Desember 2024.Pukul 01:13
- https://kehati.or.id/mengarusutamakan-ekologi-politik-dalam-upaya-konservasi-alam/. (Diakses 13 Desember 2024.Pukul 03:00 )
*Tulisan ini adalah Kisah nyata yang sebelumnya ditayangkan di Youtube Project Multatuli,yang kemudian penulis diizinkan untuk menulis dalam bentuk Storytelling.