Dogiyai, DEIYAI WIYAI NEWS - Suasana di Papua memanas. Seruan "Papua Merdeka" kembali menggema, kali ini diiringi oleh rasa kecewa dan amarah yang mendalam. Abraham Peiyon, aktivis kemanusiaan dan pejuang damai dari Panwatu, bersama Meilan Ibee, warga Papua Nugini, menyuarakan keprihatinan mereka atas kondisi Papua saat ini (26/08/2024).
"Kami punya tanah luas, lebih luas dari Papua Nugini. Kami punya banyak provinsi dan kabupaten, lebih banyak dari Pulau Jawa dan Jakarta," ujar Abraham, memulai pernyataan tegasnya. "Tapi apa gunanya semua itu jika pemimpin-pemimpin kita tidak memahami makna sebenarnya dari keberadaan provinsi dan kabupaten? Apakah mereka benar-benar tidak mengerti dan tidak peduli dengan masalah-masalah yang dihadapi rakyat Papua?"
Abraham dan Meilan mempertanyakan peran pemimpin di Papua, khususnya para gubernur dan bupati, dalam pembangunan dan kesejahteraan rakyat. "Tugas utama seorang pemimpin adalah memperhatikan rakyatnya dalam segala kondisi, menjalankan roda pemerintahan dengan benar untuk melayani mereka yang membutuhkan," tegas Abraham. "Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Roda pemerintahan berubah menjadi roda kekuasaan dan kepentingan pribadi, mengabaikan kebutuhan rakyat."
Mereka menuding bahwa kekayaan alam Papua, seperti emas, mineral, nikel, minyak, sawit, dan kayu, justru menjadi alat untuk memperkaya segelintir orang. "Sumber kekayaan kami ada di Papua, tapi kekuasaan dan kepentingan pribadi berasal dari Jakarta," ungkap Meilan. "Alam Papua, penduduk asli Papua, dan kekayaan alamnya digadaikan demi kepentingan tertentu. Ini harus dihentikan!"
Abraham dan Meilan menekankan bahwa rakyat Papua mampu hidup sejahtera tanpa kehadiran provinsi dan kabupaten jika saja kekayaan alam mereka tidak dijarah. "Kami kaya, tapi rakyat kami tertindas di negeri sendiri," ujar Abraham. "Anggaran negara hanya sebatas angka di Jakarta, sementara kekayaan Papua dinikmati oleh orang lain. Nyawa orang Papua seperti baterai HP yang terus-menerus mengeluarkan peringatan bahaya dari alam, dari pekerjaan, dari iklim, dan dari kelaparan."
Mereka menyerukan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten di Papua untuk segera bertindak menyelamatkan rakyat Papua dari ancaman bahaya. "Jika tidak ada tindakan nyata, kami rakyat Papua yang tertindas akan bangkit bersatu melawan ancaman ini. Kami akan lawan konflik Papua antara Jakarta dengan cara damai yakni dialog dan doa rekonsiliasi," tegas Abraham. "Ini adalah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan masa depan Papua."
Seruan Abraham dan Meilan ini menjadi alarm bagi pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia. Apakah mereka akan mengabaikan jeritan hati rakyat Papua? Atau mereka akan berjuang bersama untuk membangun Papua yang adil, mengakui hak-hak asasi adat dan kedamaian abadi?
Di tempat yang lain, Gerakan Pembebasan dan Persatuan untuk Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) akan melaporkan perjuangan Rakyat Papua dalam menuntut penentuan atas nasib sendiri kepada para pemimpin negara-negara Pasifik. Mereka berharap negara-negara Pasifik turut bersolidaritas atas perjuangan itu.
Wakil Presiden Eksekutif ULMWP Octovianus Mote mengatakan laporan tersebut akan mereka sampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-53 Forum Kepulauan Pasifik (PIF) di Tonga. Konferensi tersebut berlangsung pada hari ini (Senin 26/08/2024) hingga Jumat mendatang.
Jeritan Papua semakin lantang, menuntut keadilan dan kesejahteraan. Apakah pemerintah Indonesia akan mendengar dan menanggapi seruan ini dengan serius? Atau Papua akan terus terjebak dalam lingkaran ketidakadilan dan penderitaan?
Penulis: Ernest Pugiye