Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Mama Jualan Kayu Bakar Mencari Nafkah Hidup

Senin, 06 Januari 2025 | Januari 06, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-01-06T16:57:05Z
(Gambar Ilustrasi Sumber Instagram hasil screen shoot sebuah video | Mama menjual kayu bakar kepada seseorang)


Cerpen Oleh 
Jhon Minggus Keiya 
Paniai, 06 Januari 2025


Hari ini sekitar jam 10 pagi, saya pergi ke pasar Enarotali untuk belanja sayur. Saya keluar dari rumah dan menunggu mobil (taksi) di jalan raya. Jarak dari rumah ke jalan raya sekitar 27 kaki. Pada saat saya tunggu taksi, rupanya adik laki-laki satu sebut saja Bunaa datang dari kampung bersama dengan istrinya menggunakan kendaraan roda dua miliknya. Adik dia hentikan motornya dan kami saling berjabat tangan mengucapkan selamat.


Dengan sigap saya bertanya "Kamu dua dari mana ?."


"Kami dari kampung kesini, lewat Dimiya-Yawei ikut jalan darat ini kak. Tujuannya besok mau turun ke Nabire." Respon adik laki-laki 


"Oh, iyoe. Itu yang pass." Singkat saya Menanggapi


Adik laki-laki dia tanya balik "Kak sendiri mau kemana ni ?" 


"Saya mau pergi ke pasar beli sayur dik". Jawabku


Adik aga serius berkata "Oh baik kaka tunggu sudah. Saya antar kaka punya adik ipar ini ke rumah dulu baru kita jalan karena saya ada perlu di enaro juga." 


Saya Menanggapinya "O iyo  baik dik kaka tunggu disini."


Dari jalan raya adik laki-laki masuk kedalam gang. Dia mengantar istrinya kerumahku. Tidak sampai 2 menit adik laki-laki muncul dan kita jalan menggunakan kendaraannya. 


Jadi, adik laki-laki ini adalah anak dari bapa saya punya adik kandung yang ke 2. Dia sedang kuliah di Nabire disalah satu Sekolah Tinggi lokal yang ada.


Setelah tiba di enaro kita parkir motor di samping/depan salah satu tempat perbaikan barang elektronik di pasar Enarotali. Mengapa kita tidak menggunakan motor masuk kedalam pasar ? Hari senin adalah hari untuk cuci mata bagi semua penduduk (Masyarakat) Paniai. Dari berbagai pelosok kampung biasanya akan meramaikan pasar di pusat kota itu. Sehingga motor dan mobilpun tidak dapat lewat, karena dipadati oleh manusia. 


Kami berjalan mencari sayur, tak jauh sekitar 20 kaki kami menemukannya. Seorang mama menjual Kol dan Sawi langsung saya beli kol 3 buah dan sawi 2. Pada saat saya memberikan uang kepada Mama yang jual sayur itu, tiba-tiba ibu mertua dari adik laki-laki ini muncul dan menyuruhnya untuk diantar jadi dia pergi mengantarkannya, entah kemana. Dari situ kami berpisah.


Setelah saya membelinya, sayapun berbalik dengan membawa barang belanjaan dan menunggu taksi di pertigaan jalan yang biasanya mobil (taksi) menaikkan dan menurunkan orang (penumpang). Orang-orang berlalu-lalang, saya berdiri menunggu mobil dari arah madi. Tak berselang lama, terlihat mobil (taksi) putih muncul dari arah Dupiya.


Mobil tersebut berhenti depan saya untuk menurunkan penumpangnya. Saya menunggu hingga penumpangnya turun semua.


Saya bertanya kepada sopirnya, "Madi kah ?" 


"Iya, Madi". Sopirnya berkata singkat


Saya naik mobil itu dan duduk di bangku dekat pintu bagian kanan. Sopir tidak langsung jalan namun tunggu beberapa penumpang lagi, tiba-tiba pandangan saya tertuju kepada seorang wanita tua yang memikul kayu bakar yang sudah di potong pendek dan sedang meletakkannya di pinggir jalan pasar Enarotali untuk menjualnya. 


Dalam benakku berontak, rasa kasihan dan terharunya melihat mama itu. Saya turun dari mobil dan menyuruh sopir itu tunggu saya.


 Saya menghampiri mama itu dan bertanya "Mama piya keike kataine tiyakeme, (Apakah mama mau jual kayu ini ?)."


"Inu, ani yoka daba, (Iya benar, anak)." Jawabnya sambil mengeluarkan senyum lebar


Saya bertanya kembali "Kotu enakee mago kege (Satu ikat berapa ?)."


"10.000.00 nu, (Harganya sepuluh puluh ribu rupiah)." Jawab mama sambil tersenyum


"Bodana motine kaa, kotu wido enato nawii (Saya mau ambil satu ikat, tiga tumpuk jadikan satu)." Ucapku menatap terharu mama itu


Dengan penuh senyum diwajahnya dia menjawab "Enao. Ide umina ani yoka (Baik. Terima kasih banyak, anak)."


Kayu bakar yang dijualnya sudah di belah dan di potong pendek, sehingga kayunya mudah untuk dibawa masuk/dimuat dalam taksi. Mama itu menjualnya berdasarkan tumpuk. Jadi, satu tumbuk terdiri dari 4 belahan kayu buah dengan harga 10 ribu. Jadi, saya membelinya dengan harga 30 ribu. Tiga tumpuk berarti sudah 12 belahan kayu buah kini menjadikannya satu ikat. Melihat senyum mama itu saja saya merasa bahagia, walaupun bukan mama kandung saya.


Setelah saya membeli kayu bakar itu, ada seorang laki-laki datang menghampiri saya dan berkata, "Kodeki beu yoka kii piya wagigou kodonu buguwa, (Makanya cari kayu dihutan, macam kamu tidak ada tulang bahu saja)."


Antara emosi dan sedih menanggapi perkataan orang itu "Keike makede mana, piya koo wagiya kodoko, kodoya kou adama kou ipaa egagaka yaadaga. Umi tou kei maidamake Tani tapa kaatete koo teko-tekoo teete kouya, (Itu benar, bukannya saya tidak mau cari kayu, namun saya beli karena merasa kasihan kepada Mama itu, sebab dia rela berjualan kayu tanpa memikirkan panas dan terik matahari demi mencari nafkah hidup)."


Saya pikir saya telah mendengar sebuah kalimat yang menurut saya kurang logis diucapkan oleh seorang laki-laki, pada saat saya membeli satu buah ikat kayu bakar yang dijual oleh seorang Mama Papua-Paniai, di Pasar Enarotali karena rasa peduli saya.


Tanpa menghiraukan kalimat yang dilontarkan orang itu, saya menaikan satu ikat kayu ini kedalam bagasi belakang mobil (taksi), dan duduk didalam mobil yang tadi. Setelah beberapa penumpang naik kami diantar sampai di Madi untuk saya lebih tepatnya di Kontener. Setibanya saya di rumah, ternyata adik laki-laki dia sudah tiba duluan dirumah dan sedang duduk santai didapur bersama istrinya. 


"Kaka tadi kemana, setelah saya antar ibu mertua saya cari-cari kaka dalam pasar." Ucapnya kebingungan


Menanggapinya sambil saya meletakkan kayu yang saya beli "Benar dik, banyak orang juga too jadi mungkin tidak bisa saling lihat dik." 


"Itu sudah kak, Tadi saya beli ikan satu ekor saja baru langsung gass kesini." Kata adik laki-laki 


Dengan penuh girang berkata "Wah, luar biasa dik. Terima kasih."


Lanjut saya "Dimana dik menaruhnya, saya mau membersihkan ?."


"Saya menaruhnya di samping baak air, situ." Jawab adik laki-laki 


Sambil melihat kearah baak itu "Oh benar dik ada sana itu, baik dik."


Saya mulai membersihkan ikan itu dan memotongnya menjadi beberapa bagian. Ikan yang dibeli oleh adik laki-laki dia adalah ikan jumbo ukuran paha manusia, lumayan besar sih. Setelah semua beres, saya panggil adik laki-laki saya, adik ke 2 untuk datang masak, karena dia pandai sekali dalam hal masak. Setelah makanan itu dihidangkan kami menikmatinya bersama-sama sebagai makan siang.


Dari cerita pendek ini saya ingin memberikan kesimpulan bahwa, berkat tidak langsung Tuhan turunkan saat itu juga ketika kita meminta dalam berdoa. Tuhan titip berkat yang kita harapkan melalui orang lain. Untuk memperoleh berkat itu kita harus korbankan waktu dan tenaga artinya tangan kita harus bergerak untuk bekerja. Jadi apa yang dilakukan oleh mama penjual kayu itu adalah bagian dari usaha memperoleh berkat dari Tuhan, berkat yang dititipkan melalui saya untuk mama itu.


Disisi lain, jika ingin perekonomian lokal di Papua bertumbuh dan berkembang pesat, kita Orang Asli Papua seharusnya sadar untuk saling mendukung dan wajib menguntungkan sesama dengan cara jual dan beli barang dagangan Orang Papua itu sendiri. Jangan setiap hari uang kita diberikan terus kepada pedagang IYOWOYA. Berhenti dengan ego dan iri hati yang selalu dipelihara dalam hati.


Selesai...

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update