(Ilustrasi Foto Warga dari dua kelompok suku di Papua bersiap dengan busur dan panah dalam sebuah ketegangan konflik lokal/perang suku di tengah masyarakat adat | sumber Antarafoto.com)
Oleh
Jhon Minggus Keiya
A. Pendahuluan
Konflik horizontal dalam bentuk perang suku masih menjadi persoalan serius di beberapa wilayah Papua. Praktik ini merupakan warisan sejarah yang telah menimbulkan banyak korban jiwa, trauma kolektif, serta menjadi penghambat utama dalam proses pembangunan dan penguatan identitas kolektif orang Papua.
Dalam konteks sosial-politik modern, perang suku tidak lagi relevan sebagai mekanisme penyelesaian konflik. Realitas hari ini justru menunjukkan bahwa konflik semacam ini mulai dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan sebagai alat pecah belah demi meraih keuntungan politik dan ekonomi.
Tradisi kekerasan ini bukan hanya menyisakan penderitaan fisik dan psikis, tetapi juga telah menjadi penghalang besar bagi persatuan, pembangunan, dan perjuangan kolektif rakyat Papua dalam mempertahankan tanah, martabat, dan masa depan mereka. Ironisnya, di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi, praktik perang suku masih saja terjadi bahkan dipelihara dan dimanfaatkan oleh oknum tertentu.
B. Pembahasan
1. Siapa yang Diuntungkan?
Pertanyaan kritis yang harus diajukan adalah:
- Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari terus berlangsungnya perang suku di Papua?
- Apakah rakyat?
Justru, korban utamanya adalah masyarakat itu sendiri. Anak-anak kehilangan ayahnya, perempuan menjadi janda, rumah-rumah dibakar, dan komunitas hidup dalam ketakutan di tanah yang seharusnya menjadi ruang damai.
Yang justru diuntungkan adalah para penguasa dan pengusaha, termasuk oknum yang menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan negara dan modal.
Mereka menyusup ke dalam celah-celah konflik lokal, menyulut bara permusuhan lama, agar kita terus saling membunuh. Ketika rakyat Papua sibuk bertikai mempertahankan harga diri suku masing-masing, mereka melenggang masuk menguasai hutan-hutan adat, gunung-gunung emas, dan kekayaan alam lainnya.
Papua dipandang bukan sebagai tanah leluhur orang asli, tetapi sebagai ladang eksploitasi. Kita ibaratkan tanah ini sebagai seorang “nona cantik” yang diperebutkan karena kecantikannya bukan pada wajah, melainkan kekayaan yang terkandung di balik tubuhnya seperti tanah, hutan, laut, dan gunung.
2. Perang Suku sebagai Alat Neo-Kolonialisme
Perang suku yang terus berlangsung telah menjadi penghalang besar bagi semangat persatuan dan perjuangan kolektif rakyat Papua dalam mempertahankan hak atas tanah, budaya, dan sumber daya alam. Dalam banyak kasus, konflik lokal dijadikan pintu masuk untuk eksploitasi tambang, perkebunan skala besar, dan pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan hak masyarakat adat.
Dengan dibiarkannya konflik terus membara, kekuatan eksternal dengan mudah merampas kendali atas ekonomi, politik, dan budaya lokal. Inilah bentuk nyata dari neo-kolonialisme, kolonialisme gaya baru yang menyusup secara halus namun menghancurkan secara struktural.
Akibatnya, marjinalisasi orang asli Papua semakin dalam, ketimpangan sosial kian melebar, dan masa depan kolektif semakin kabur. Konflik internal yang terus dilestarikan menjadi alat sistemik untuk menghalangi kebangkitan Papua.
3. Saatnya Sadar dan Bersatu
Kita sebagai orang Papua harus sadar bahwa musuh utama kita bukanlah saudara dari suku lain, melainkan sistem yang menindas, kekuasaan dan modal yang memecah-belah, serta mental kolonial yang masih bercokol di tanah ini.
Perang suku hanya akan mempercepat kehancuran bangsa Papua. Saat kita lemah karena konflik internal, mereka dengan mudah mengambil alih kendali atas tanah, hak, dan masa depan kita. Karena itu, kesadaran kolektif menjadi kunci utama untuk membangun kekuatan bersama dalam menghadapi ancaman eksternal.
C. Penutup
Perang suku bukan hanya ancaman terhadap perdamaian lokal, tetapi juga merupakan alat sistemik yang mempercepat proses perampasan tanah dan sumber daya alam oleh pihak eksternal. Orang Papua harus menyadari bahwa musuh utama kita bukanlah perbedaan suku, melainkan sistem penindasan terorganisir yang menggunakan konflik internal sebagai alat dominasi.
Sudah saatnya kita bangkit dan meninggalkan budaya kekerasan. Kita perlu menghidupkan kembali nilai-nilai adat sejati kedamaian, musyawarah, dan persaudaraan antarsuku. Kita harus menyatukan langkah, suara, dan hati untuk menjaga tanah leluhur ini dari cengkeraman kapitalisme dan kekuasaan yang merusak.
Papua tidak akan selamat jika orang Papua terus saling membunuh. Papua hanya akan bertahan jika orang Papua saling menjaga dan bersatu. Maka, mari kita akhiri perang suku dan memulai perjuangan baru perjuangan melawan ketidakadilan, perampasan hak, dan bentuk kolonialisme yang dibungkus dengan nama pembangunan.