Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Part 2 - Indonesia Digadaikan dan Papua Dikorbankan

Jumat, 25 Juli 2025 | Juli 25, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-25T10:37:13Z

Oleh
Jhon Minggus Keiya

Indonesia hari ini terlihat lebih ramah pada investor asing ketimbang pada petani, buruh, nelayan, dan masyarakat adatnya sendiri. Banyak kebijakan ekonomi dibuat bukan untuk melindungi rakyat kecil, melainkan memfasilitasi korporasi multinasional yang berlindung di balik label “investasi” dan “pertumbuhan”.

Alih-alih memperkuat petani lokal, pemerintah membuka keran impor pangan secara besar-besaran. Data BPS mencatat Indonesia masih mengimpor jutaan ton beras, gula, garam, hingga bawang putih setiap tahun. Akibatnya, harga di tingkat petani anjlok dan produksi lokal tidak berdaya saing.

Di balik kebijakan ini, terdapat kepentingan besar: jaringan pengusaha-penguasa yang menikmati rente impor. Ini bukan soal teknis semata, melainkan indikasi bahwa kedaulatan pangan telah digadaikan kepada kepentingan pasar global.

Di Papua, praktik ilegal mining terus berlangsung dari Mimika hingga Yahukimo. Tak jarang, aktivitas ini diduga dibekingi oleh aparat keamanan atau oknum elit lokal. Sungai tercemar, hutan rusak, dan masyarakat adat kehilangan ruang hidupnya.

Ironisnya, pemerintah pusat justru memberi karpet merah bagi perusahaan tambang raksasa. Alih-alih memberdayakan rakyat Papua, negara justru menjadi perantara eksploitasi. Papua yang kaya raya menjadi miskin karena tambangnya dikeruk tanpa perhitungan ekologis maupun etika sosial.

Eksploitasi hutan di Papua kian masif, lewat skema food estate, perkebunan sawit, hingga izin logging. Ribuan hektare hutan adat hilang, memutus mata rantai kehidupan masyarakat asli. Perjanjian pelepasan tanah kerap dilakukan tanpa konsultasi yang layak. Ini adalah bentuk kolonialisme baru dengan buldoser dan dokumen izin menggantikan bedil dan bajak laut.

Fenomena “tikus berdasi” bukan pepesan kosong. Ketika elit politik lebih melayani investor asing daripada rakyat, mereka sesungguhnya sedang menggadaikan kedaulatan negara. Mereka menjadi broker proyek tambang, komoditas, dan lahan rakyat kepada asing, sambil menindas suara kritis dengan stigma, militerisasi, atau kriminalisasi.

Lembaga antikorupsi memang bekerja, tapi upaya ini tidak cukup bila akar korupsi adalah sistemik UU dibuat untuk memuluskan kepentingan korporasi, bukan melindungi rakyat.

Di Papua, realitas ketidakadilan ini terasa paling telanjang. Meski pemerintah menggembar-gemborkan pembangunan, masyarakat Papua masih hidup dalam keterasingan sosial, ekonomi, dan politik. Pembangunan tanpa penghormatan terhadap martabat manusia Papua hanya akan melahirkan luka baru dan perlawanan sunyi.
Sudah saatnya negara berhenti memaksakan pembangunan dari atas. Beri ruang bagi masyarakat adat bicara. Akui hak mereka. Libatkan mereka secara utuh. Jangan anggap mereka sekadar hambatan proyek.

Kesimpulan

Jika rakyat terus diam, negeri ini akan benar-benar tergadai bukan hanya kepada Amerika, tetapi pada semua kekuatan asing yang masuk lewat pintu ekonomi dan politik. Saatnya rakyat Indonesia, termasuk dari Sabang sampai Merauke, sadar dan bersatu untuk mengambil kembali kendali atas tanah dan masa depan mereka.


Papua bukan halaman belakang republik. Ingat Papua adalah ujung tombak cermin kejujuran moral dan keadilan Indonesia. Jika Papua dibiarkan terus disakiti, maka keindonesiaan kita hanya tinggal nama.




(*Penulis adalah Alumnus Universitas Satya Wiyata Mandala Nabire, FKIP, Pendidikan Bahasa Inggris dan pengajar di SMA Negeri 1 Dogiyai sebagai guru honorer tidak tetap).
TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update