Oleh
Jhon Minggus Keiya
Dalam wacana teologi klasik, Iblis bukan hanya simbol kejahatan, tetapi arketipe pemberontakan, kesombongan, dan hasrat untuk menguasai. Dalam mitologi Abrahamik, Iblis adalah makhluk yang menolak tunduk, bukan karena ia bodoh, tapi karena ia merasa lebih unggul. Ketika kita melihat sejarah dan realitas sosial-politik hari ini, kita menemukan gema sifat itu dalam dua institusi besar agama dan pemerintah.
Apakah berlebihan menyebut keduanya mewarisi sifat Iblis? Mari kita telusuri.
1. Kekuasaan Absolut dan Keinginan untuk Mengontrol
Salah satu sifat Iblis yang paling menonjol adalah keinginan untuk menguasai. Ia tidak puas menjadi makhluk agung, ia ingin menjadi seperti Tuhan. Di sinilah ironi agama dan pemerintahan bermula. Keduanya mengklaim sebagai penjaga kebenaran dan keadilan, tetapi sering menggunakan kekuasaan mereka untuk mengontrol manusia, bahkan dengan cara menindas.
Agama, dalam banyak sejarahnya, bukan hanya membimbing spiritualitas, tetapi juga menetapkan standar hidup yang rigid, menjustifikasi kekerasan atas nama iman, dan mengkafirkan yang berbeda. Pemerintah pun serupa: mengontrol opini publik, membungkam suara minoritas, dan memaksakan ideologi atas nama stabilitas nasional.
Keduanya beroperasi dalam logika "kami tahu yang benar, dan kamu wajib tunduk". Bukankah ini cerminan dari kesombongan Iblis, yang tak sudi tunduk pada yang dianggap lebih rendah?
2. Menyebar Ketakutan, Bukan Cinta
Jika Tuhan adalah kasih, maka Iblis adalah ketakutan. Banyak agama dan pemerintah membangun kekuasaannya di atas rasa takut. Neraka menjadi ancaman bagi yang tak taat. Penjara dan stigma sosial menanti siapa pun yang berbeda pandangan.
Alih-alih menciptakan ruang dialog, agama dan negara sering justru menciptakan batas—siapa yang boleh hidup, siapa yang layak diselamatkan, siapa yang boleh berbicara. Ketakutan menjadi alat kontrol massal. Dalam hal ini, agama dan pemerintah sering lebih mirip Iblis ketimbang Tuhan.
3. Memelihara Kemunafikan Institusional
Agama dan pemerintah sering mengklaim berdiri di atas moralitas. Tapi sejarah panjang memperlihatkan kontradiksi tajam antara nilai yang diucapkan dan tindakan yang dilakukan.
Gereja bisa berkhotbah tentang kasih sambil mendukung perang salib. Negara bisa bicara HAM sambil membantai rakyatnya sendiri dalam operasi militer. Imam bisa menyuarakan kesucian sambil menyembunyikan skandal seksual. Politikus bisa berpidato soal keadilan sambil menumpuk kekayaan dari korupsi.
Iblis dikenal sebagai bapa segala dusta. Maka jika dusta menjadi sistemik apakah itu bukan warisan dari sifat yang sama?
4. Menolak Pertobatan dan Perubahan
Iblis, dalam banyak kisah teologis, tidak pernah bertobat. Ia keras kepala, merasa benar, dan tak bersedia berubah. Sayangnya, begitu pula banyak institusi agama dan negara.
Agama sulit mengakui kesalahan masa lalunya dari genosida, pembakaran perempuan, hingga kolonialisme. Negara juga kerap menolak membuka arsip sejarah kelamnya, menghapus jejak pembantaian, atau memanipulasi narasi kebenaran.
Di sini kita melihat bahwa keengganan untuk mengakui dan mengoreksi diri adalah sifat iblisiah yang menjelma dalam tubuh kekuasaan.
Penutup
Haruskan Kita Menolak Semua Institusi?
Jawabannya tentu Tidak. Kritik ini bukan seruan untuk menghancurkan agama atau negara, tetapi ajakan untuk membongkar struktur kuasa yang telah kehilangan roh kemanusiaan.
Agama dan negara bisa menjadi alat cahaya jika keduanya sadar diri bahwa mereka bukan Tuhan, bukan pemilik mutlak kebenaran, dan bahwa kekuasaan mereka harus senantiasa diawasi, ditantang, dan dibatasi.
Karena ketika keduanya mulai merasa tak bisa disentuh, tak bisa dikritik, dan suci dari kesalahan di situlah sifat Iblis hidup dalam sistem, bukan lagi sebagai metafora, tapi realita.
(*Penulis adalah Alumnus Universitas Satya Wiyata Mandala Nabire, FKIP, Pendidikan Bahasa Inggris dan pengajar di SMA Negeri 1 Dogiyai sebagai guru honorer tidak tetap).