Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Keadilan dalam Konflik: Menilai Legitimasi Kekerasan terhadap Pejuang Tanpa Senjata

Sabtu, 24 Mei 2025 | Mei 24, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-25T00:01:05Z
[... Dua jenazah anggota TPNPB tampak terbujur kaku di atas ranjang medis dengan luka tembak di tubuh mereka. Keduanya mengenakan pakaian bergaya militer dan simbol Bintang Kejora, menunjukkan identitas mereka sebagai bagian dari gerakan Papua Merdeka]


Oleh
Jhon Minggus Keiya


A. Pendahuluan


Konflik di Papua merupakan konflik politik dan kemanusiaan yang telah berlangsung selama lebih dari setengah abad, berakar dari sejarah integrasi wilayah Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1969 melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang kontroversial. Sejak saat itu, berbagai bentuk perlawanan muncul dari sebagian rakyat Papua yang merasa bahwa proses tersebut tidak adil dan tidak mencerminkan kehendak rakyat asli Papua secara menyeluruh.


Dalam konteks ini, negara hadir dengan pendekatan keamanan yang keras. Aparat militer dan kepolisian dikerahkan dalam jumlah besar ke wilayah-wilayah yang dianggap sebagai basis separatisme atau dukungan terhadap kemerdekaan Papua. Dalam banyak kasus, operasi militer atau penegakan hukum di Papua ditandai dengan tindakan represif: penangkapan sewenang-wenang, pembunuhan di luar proses hukum, penyiksaan, dan pengungsian warga sipil.


Kelompok-kelompok bersenjata seperti Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) diposisikan oleh negara sebagai "kelompok kriminal bersenjata" atau "teroris," sementara sebagian masyarakat Papua memandang mereka sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan struktural, marginalisasi, dan rasisme yang telah berlangsung lama. Di balik senjata yang mereka angkat, terkandung frustrasi kolektif terhadap pembangunan yang timpang, eksploitasi sumber daya alam, dan hilangnya ruang politik bagi rakyat Papua untuk menyuarakan aspirasinya.


Kekerasan negara terhadap rakyat Papua, baik yang bersenjata maupun tidak, menciptakan siklus perlawanan yang semakin mengeras. Respons militeristik terhadap aspirasi kemerdekaan tidak hanya gagal meredam perlawanan, tetapi justru memperdalam luka sejarah dan menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia. Akibatnya, konflik di Papua bukan semata-mata soal politik separatisme, tetapi telah menjadi persoalan kemanusiaan yang mendesak.


Dalam realitas ini, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah pendekatan kekerasan oleh negara sah dan adil, terutama ketika diterapkan kepada individu atau kelompok yang tidak sedang mengancam secara langsung? Di sinilah pentingnya membedah dimensi keadilan dalam konflik Papua, dan bagaimana hukum serta etika harus membatasi penggunaan kekerasan oleh negara demi menjamin penghormatan terhadap martabat manusia.



B. Pembahasan


1. Kerangka Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia


Konflik bersenjata, termasuk yang terjadi di Papua, diatur oleh norma-norma hukum humaniter internasional (HHI) yang bertujuan melindungi korban konflik, baik kombatan maupun non-kombatan. HHI, terutama melalui Konvensi Jenewa dan protokol tambahan, mengatur secara ketat bagaimana para pihak yang bertikai harus memperlakukan mereka yang terlibat dalam konflik.


Salah satu prinsip utama hukum humaniter adalah pembatasan penggunaan kekerasan, khususnya terhadap mereka yang tidak berpartisipasi langsung dalam pertempuran (non-kombatan) dan pejuang yang telah menyerah atau tidak bersenjata pada saat penahanan. Pejuang pembebasan yang tidak membawa senjata dan tidak sedang bertempur harus diperlakukan sebagai tahanan perang atau setidaknya tahanan biasa dengan penghormatan penuh terhadap hak asasi mereka.


Hak asasi manusia (HAM) juga menjadi payung hukum yang penting dalam konflik internal. Meski negara memiliki kewajiban menjaga kedaulatan dan keamanan, kewajiban tersebut tidak boleh melanggar hak hidup, kebebasan, dan perlindungan hukum yang dijamin secara universal. Penembakan mati tanpa proses hukum yang adil, terutama terhadap individu tak bersenjata, merupakan pelanggaran HAM serius dan dapat dikategorikan sebagai eksekusi di luar hukum (extrajudicial killing).


Di Papua, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini seringkali dilaporkan, menimbulkan kecaman dari berbagai lembaga HAM nasional dan internasional. Hal ini menegaskan perlunya negara untuk mematuhi standar hukum internasional dalam menangani konflik dan perlawanan bersenjata, demi menegakkan keadilan dan mencegah terulangnya kekerasan yang tidak proporsional.


2. Kasus Nabire: Analisis Kronologi Penembakan Dua Anggota TPNPB


Peristiwa penembakan dua anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) oleh aparat kepolisian di Nabire menjadi sorotan tajam dalam diskursus mengenai penggunaan kekerasan oleh negara dalam menangani konflik Papua. Kronologi kejadian tersebut menunjukkan dinamika kompleks antara operasi keamanan dan hak asasi manusia.


Menurut berbagai laporan, kedua anggota TPNPB yang ditembak tidak sedang membawa senjata pada saat insiden terjadi. Hal ini memicu pertanyaan mendalam mengenai legitimasi tindakan aparat dalam menggunakan kekuatan mematikan. Dalam konteks hukum humaniter, individu yang tidak bersenjata atau tidak aktif bertempur seharusnya tidak menjadi sasaran tindakan yang dapat menyebabkan kematian.


Pihak kepolisian mengklaim tindakan tersebut merupakan bagian dari operasi keamanan yang bertujuan menjaga ketertiban dan mencegah ancaman terhadap stabilitas wilayah. Namun, informasi ini berhadapan dengan bukti dan kesaksian yang menunjukkan bahwa kedua korban tidak menunjukkan perlawanan bersenjata saat insiden berlangsung.


Kronologi ini menimbulkan perdebatan serius tentang apakah penggunaan kekerasan tersebut sudah proporsional dan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Insiden ini juga mencerminkan pola kekerasan yang berulang dalam penanganan konflik di Papua, yang seringkali mengabaikan prinsip-prinsip perlindungan terhadap pejuang yang tidak bersenjata.


Analisis terhadap kasus Nabire menegaskan perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tindakan kekerasan oleh aparat negara, agar keadilan benar-benar ditegakkan dan hak asasi manusia dihormati. Kasus ini menjadi simbol penting bagi perlunya reformasi pendekatan negara dalam menyelesaikan konflik di Papua secara damai dan berkeadilan.


3. Extrajudicial Killing dan Pembingkaian Narasi Pejuang sebagai Teroris


Extrajudicial killing, atau pembunuhan di luar proses hukum, merupakan salah satu isu utama dalam konflik bersenjata yang terjadi di Papua. Praktik ini mengacu pada tindakan aparat keamanan yang menggunakan kekerasan mematikan tanpa melalui prosedur hukum yang sah, seperti penahanan, pengadilan, dan pembelaan hukum. Dalam konteks Papua, banyak laporan menyebutkan bahwa tindakan seperti ini kerap menimpa anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) maupun warga sipil yang dicurigai terlibat.


Salah satu cara aparat negara membenarkan tindakan kekerasan tersebut adalah dengan membingkai pejuang pembebasan dan pendukungnya sebagai “kelompok kriminal bersenjata” atau “teroris.” Label ini berfungsi untuk menghilangkan legitimasi politik perjuangan mereka dan membenarkan tindakan keras yang dilakukan. Pembingkaian tersebut juga mempengaruhi opini publik, sehingga tindakan kekerasan yang seharusnya dipertanyakan secara hukum dan moral, sering kali diterima atau diabaikan.


Namun, pembunuhan tanpa proses hukum jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia yang universal. Negara berkewajiban untuk menegakkan hukum secara adil, bukan mengambil tindakan sewenang-wenang yang memperparah konflik dan menghilangkan ruang dialog damai. Extrajudicial killing justru memperdalam siklus kekerasan dan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum dan negara.


Dalam situasi Papua, pembingkaian narasi ini memperkuat polarisasi dan menghambat penyelesaian konflik secara damai dan berkelanjutan. Oleh karena itu, penting untuk mengangkat perspektif kemanusiaan dan hukum dalam memahami perjuangan rakyat Papua, serta menuntut akuntabilitas atas tindakan pelanggaran yang terjadi.



4. Dilema Negara: Menjaga Kedaulatan atau Melanggar Martabat Kemanusiaan?


Negara memiliki tanggung jawab utama untuk menjaga kedaulatan, keamanan, dan ketertiban dalam wilayahnya. Namun, ketika upaya menjaga kedaulatan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang melanggar martabat dan hak asasi manusia, muncul dilema yang kompleks antara kepentingan negara dan penghormatan terhadap kemanusiaan.


Di Papua, dilema ini sangat nyata. Aparat keamanan berhadapan dengan kelompok yang mengangkat senjata dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan atau otonomi yang lebih luas. Negara memandang penggunaan kekerasan sebagai cara untuk mempertahankan keutuhan wilayah dan stabilitas nasional. Namun, metode yang digunakan sering kali berupa tindakan represif yang menyasar tidak hanya pejuang bersenjata, tapi juga warga sipil, termasuk mereka yang tidak bersenjata.


Ketika kekerasan negara berujung pada pelanggaran hak hidup, penyiksaan, dan pembunuhan tanpa proses hukum yang adil, maka martabat manusia sebagai subjek hukum dan hak asasi direndahkan. Dalam konteks ini, negara dihadapkan pada tantangan etis dan hukum: bagaimana menjaga keamanan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan.


Dilema ini menuntut refleksi mendalam terhadap kebijakan keamanan dan penegakan hukum di Papua. Pendekatan yang lebih berorientasi pada dialog, rekonsiliasi, dan penghormatan hak asasi dapat menjadi jalan keluar agar konflik tidak berkepanjangan dan manusia Papua tidak terus menjadi korban dalam proses politik yang kompleks.



5. Perspektif Lokal dan Suara Kemanusiaan Papua


Dalam membahas konflik di Papua, penting untuk mengangkat perspektif lokal dan suara masyarakat asli Papua yang sering kali terpinggirkan dalam narasi resmi negara maupun media nasional. Penduduk Papua tidak hanya menjadi objek dalam konflik, tetapi juga subjek yang memiliki pengalaman, aspirasi, dan pengetahuan kritis tentang situasi yang mereka hadapi.


Suara dari keluarga korban, tokoh adat, aktivis hak asasi manusia, dan komunitas lokal memberikan wawasan mendalam tentang dampak kekerasan negara terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Papua. Mereka menggambarkan rasa kehilangan, trauma, dan ketidakadilan yang mereka alami akibat operasi militer dan penegakan hukum yang keras, termasuk insiden seperti penembakan anggota TPNPB di Nabire.


Perspektif lokal juga menekankan pentingnya pendekatan yang menghormati adat, budaya, dan hak-hak kolektif masyarakat Papua. Pendekatan keamanan yang bersifat militeristik seringkali mengabaikan nilai-nilai ini, sehingga memperparah ketegangan dan menimbulkan resistensi yang lebih besar.


Menguatkan suara kemanusiaan dari Papua berarti membuka ruang dialog yang inklusif dan adil, di mana kepentingan dan hak masyarakat Papua diakui dan dijadikan dasar dalam upaya penyelesaian konflik. Hal ini juga mendorong komunitas internasional untuk lebih memahami dan mendukung hak-hak rakyat Papua dalam konteks kemanusiaan dan hukum internasional.


C. Kesimpulan dan Rekomendasi


Pembahasan mengenai kekerasan negara terhadap pejuang tanpa senjata di Papua, khususnya dalam kasus penembakan dua anggota TPNPB di Nabire, menegaskan pentingnya menegakkan keadilan yang berlandaskan hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional. Tindakan kekerasan yang melanggar prinsip perlindungan terhadap non-kombatan tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga memperburuk siklus konflik yang sudah berlangsung lama.


Untuk itu, diperlukan pendekatan yang tidak hanya fokus pada aspek keamanan semata, tetapi juga mengutamakan dialog, rekonsiliasi, dan penghormatan terhadap hak politik dan kemanusiaan masyarakat Papua. Negara harus menegakkan akuntabilitas terhadap setiap pelanggaran yang terjadi serta menghindari praktik extrajudicial killing yang merusak kepercayaan publik dan memperdalam luka sosial.


Rekomendasi penting meliputi penguatan mekanisme pengawasan independen terhadap aparat keamanan, pelibatan tokoh adat dan masyarakat sipil Papua dalam proses perdamaian, serta implementasi program pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Pendekatan ini dapat membuka jalan bagi solusi damai yang menghormati martabat manusia dan mengakhiri kekerasan yang berkepanjangan.


Dengan demikian, keadilan dalam konflik Papua bukan hanya soal kemenangan militer atau politik, tetapi bagaimana negara dan semua pihak terkait mampu menjaga kemanusiaan dan hak asasi dalam setiap tindakan yang diambil.



(*Penulis adalah Alumnus Universitas Satya Wiyata Mandala Nabire, FKIP, Pendidikan Bahasa Inggris dan pengajar di SMA Negeri 1 Dogiyai sebagai guru honorer tidak tetap).


TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update