Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Pembunuhan dan Penguburan Tidak Manusiawi Ibu Hetina Mirip: Cermin Kekerasan Struktural dan Militerisme di Intan Jaya

Sabtu, 24 Mei 2025 | Mei 24, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-25T00:12:22Z
[... Foto ibu Hetina Mirip sebelum dan sesudah dibunuh, mengenakan pakaian dan selimut yang sama. Gambar ini menjadi bukti visual kekerasan terhadap warga sipil dan pelanggaran hak asasi manusia di Intan Jaya]


Oleh
Jhon Minggus Keiya


Kekerasan bersenjata di Papua, khususnya di wilayah Intan Jaya, kembali menjadi sorotan publik setelah beredarnya informasi di media sosial mengenai pembunuhan warga sipil. Salah satu kasus yang mencuat adalah pembunuhan terhadap seorang ibu lansia yang dikubur secara tidak manusiawi oleh aparat TNI dan Polri. Peristiwa ini bukan hanya mencerminkan potret kekerasan negara terhadap warga sipil Papua, tetapi juga mengungkap persoalan struktural dalam relasi kuasa antara negara dan rakyat Papua.

Pada 23 Mei 2025, tim kemanusiaan bersama warga berhasil mengevakuasi jenazah Hetina Mirip, seorang ibu lansia yang ditemukan dalam kondisi mengenaskan di Kampung Ndugusiga, Intan Jaya. Ia dibunuh oleh aparat TNI dan Polri dalam operasi militer yang berlangsung pada 13 Mei 2025. Jenazahnya ditemukan sebagian terkubur, dengan tubuh masih tampak di permukaan tanah bekas galian. Fakta ini bukan sekadar kekerasan terhadap individu, melainkan simbol kekerasan struktural terhadap tubuh, identitas, dan martabat masyarakat adat Papua.

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan penjelasan akademik atas peristiwa tersebut dengan pendekatan hak asasi manusia, studi kekerasan, dan relasi militer-sipil dalam konteks konflik bersenjata.

1. Konteks Historis dan Politik Intan Jaya

Intan Jaya merupakan salah satu wilayah paling rawan konflik di Papua. Dalam beberapa tahun terakhir, operasi militer dengan dalih penumpasan kelompok separatis meningkat tajam. Namun, dalam praktiknya, warga sipil kerap menjadi korban. Sejarah panjang marginalisasi, diskriminasi struktural, dan kekerasan militeristik sejak integrasi Papua ke Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 menjadi latar belakang utama dari ketegangan dan resistensi yang terus terjadi di wilayah ini.

2. Kekerasan Negara dan Pelanggaran HAM

Dalam pendekatan studi kekerasan oleh Johan Galtung, kasus ini merupakan bentuk direct violence kekerasan langsung oleh negara terhadap individu. Pembunuhan terhadap warga sipil, terlebih perempuan dan lansia, merupakan pelanggaran serius terhadap Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

Penguburan korban yang dilakukan tanpa prosedur, pemberitahuan kepada keluarga, atau penghormatan layak menunjukkan symbolic violence, yaitu kekerasan yang merendahkan martabat manusia secara simbolik. Tindakan ini juga mencerminkan praktik impunitas, ketika pelaku kekerasan dibiarkan tanpa pertanggungjawaban hukum. Dalam konteks Papua, hal ini memperkuat ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara dan menambah luka kolektif masyarakat adat.

Kajian keadilan transisional menekankan pentingnya pengungkapan kebenaran dan pengakuan atas kekerasan masa lalu sebagai fondasi rekonsiliasi. Temuan tim kemanusiaan dalam kasus ini menjadi elemen penting untuk dokumentasi pelanggaran HAM dan upaya keadilan.

3. Kekuasaan Militer dan Impunitas

Salah satu persoalan mendasar di Papua adalah impunitas aparat keamanan. Banyak kasus kekerasan oleh TNI dan Polri tidak diselesaikan melalui proses hukum yang adil dan transparan. Dalam studi hubungan militer-sipil (civil-military relations), dominasi militer di wilayah sipil menunjukkan lemahnya kontrol sipil atas institusi bersenjata sebuah kondisi yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil.

4. Pelanggaran Terhadap Hukum Humaniter dan HAM

Dalam hukum humaniter internasional, Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II melindungi warga sipil dalam konflik bersenjata non-internasional. Pembunuhan terhadap seorang lansia yang tidak terlibat dalam pertempuran merupakan pelanggaran berat. Selain itu, penguburan tanpa prosedur dan tanpa pemberitahuan keluarga korban melanggar martabat manusia dan hak atas penguburan yang layak, sebagaimana dijamin dalam standar HAM internasional.

Tindakan ini mencerminkan praktik impunitas aparat di Papua, di mana kekerasan terhadap sipil tidak diselidiki secara terbuka dan transparan. Kasus Hetina Mirip harus menjadi momen evaluasi serius terhadap praktik keamanan negara yang selama ini lepas dari akuntabilitas.

5. Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional

Secara prinsip, hukum humaniter internasional (HPI) dan hukum HAM internasional melarang kekerasan terhadap warga sipil dalam situasi konflik bersenjata. Konvensi Jenewa 1949, khususnya Protokol II yang mengatur konflik non-internasional, secara eksplisit menyatakan bahwa:

“Warga sipil tidak boleh menjadi sasaran serangan dan harus dihormati serta dilindungi setiap saat.”

Pembunuhan terhadap seorang lansia yang secara hukum dianggap sebagai warga sipil tidak terlibat merupakan pelanggaran berat terhadap HPI. Lebih dari itu, tindakan penguburan yang "seperti binatang" sebagaimana dijelaskan dalam teks, mengindikasikan pelanggaran terhadap prinsip martabat manusia dan penghormatan terhadap jenazah dalam hukum humaniter.

6. Narasi dan Resistensi di Media Sosial

Postingan di Facebook dan media sosial lain memainkan peran penting dalam membongkar kekerasan negara yang selama ini tertutup oleh media arus utama. Dari perspektif teori poskolonial, narasi masyarakat Papua di media sosial merupakan bentuk counter-narrative terhadap wacana negara yang menstigmatisasi Papua sebagai daerah konflik. Ini menunjukkan bahwa ruang digital menjadi tempat artikulasi politik dari masyarakat terpinggirkan.

7. Perempuan Papua sebagai Subjek Ganda Kekerasan

Dalam kajian studi gender dan konflik, perempuan lansia termasuk kelompok paling rentan terhadap dampak kekerasan bersenjata. Mereka sering tidak memiliki akses terhadap perlindungan, dan tubuh mereka menjadi simbol dominasi dalam perang. Dalam hal ini, pembunuhan terhadap Hetina Mirip dapat dianalisis sebagai bentuk kekerasan berbasis gender dan usia yang mengabaikan nilai-nilai perlindungan sipil dalam operasi militer.

Perempuan Papua seringkali mengalami kekerasan ganda: sebagai warga sipil di wilayah konflik, dan sebagai perempuan dalam sistem patriarki militeristik. Kasus pembunuhan ibu di Intan Jaya mengingatkan kita pada pentingnya pendekatan interseksionalitas dalam membaca konflik Papua, karena ketidakadilan yang dialami tidak berdiri sendiri, melainkan berlapis.

8. Peran Tim Kemanusiaan dan Masyarakat Sipil

Masuknya tim kemanusiaan ke Kampung Ndugusiga pada 23 Mei 2025 untuk mengevakuasi korban menunjukkan peran penting aktor non-negara dalam perlindungan HAM dan pemulihan martabat korban. Dalam banyak konflik internal, kerja-kerja kemanusiaan menjadi sumber informasi primer mengenai pelanggaran yang luput dari dokumentasi negara.

Tim ini juga bertindak sebagai saksi dalam proses pembentukan narasi kebenaran, yang kelak bisa menjadi bukti dalam forum nasional maupun internasional mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat negara.

Kesimpulan

Pembunuhan ini satu dari banyak insiden kekerasan negara terhadap warga sipil di Papua yang harus dianalisis dalam kerangka hukum humaniter internasional dan HAM. Pembunuhan terhadap Hetina Mirip dan penguburan yang tidak manusiawi ini mencerminkan pelanggaran terhadap hukum internasional, nilai kemanusiaan, serta keadilan transisional.

Peristiwa pembunuhan ibu di Intan Jaya bukan kasus tunggal, tetapi bagian dari pola kekerasan negara yang sistemik terhadap rakyat Papua. Negara harus bertanggung jawab secara hukum dan moral. Proses investigasi independen, keterlibatan Komnas HAM, serta pembentukan tim pencari fakta yang netral dan terpercaya harus segera dilakukan. Di sisi lain, penting untuk mendorong reformasi sektor keamanan dan mengakhiri pendekatan militeristik terhadap Papua.

Sebagai akademisi, aktivis, dan warga negara,memiliki tanggung jawab untuk terus menyuarakan kebenaran dan menuntut keadilan bagi mereka yang telah dikubur baik secara fisik maupun simbolik oleh sistem kekerasan. Kita dituntut untuk tidak diam terhadap kekerasan yang melanggar kemanusiaan. Karena diam adalah bentuk kolusi dengan penindasan.

"Papua tidak membutuhkan lebih banyak senjata, tetapi lebih banyak keadilan dan pengakuan akan kemanusiaan yang telah lama diabaikan."



(*Penulis adalah Alumnus Universitas Satya Wiyata Mandala Nabire, FKIP, Pendidikan Bahasa Inggris dan pengajar di SMA Negeri 1 Dogiyai sebagai guru honorer tidak tetap).

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update