Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Kekerasan dalam Penanganan Aksi Mahasiswa: Implikasi Kekerasan Sosial dan Institusional di Universitas Cenderawasih

Kamis, 22 Mei 2025 | Mei 22, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-22T17:59:43Z

[... Foto ini memperlihatkan ratusan mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) melakukan aksi demonstrasi damai di lingkungan kampus pada 22 Mei 2025, menuntut penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT) | Sumber foto facebook].

Oleh
Jhon Minggus Keiya

 
A. Pendahuluan

1. Latar belakang aksi mahasiswa UNCEN

Pada 22 Mei 2025, mahasiswa Universitas Cenderawasih (UNCEN) di Kota Jayapura menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di depan gapura kampus yang terletak di Perumnas III Waena. Aksi ini dipicu oleh keresahan kolektif mahasiswa terhadap kebijakan kampus terkait kenaikan dan tingginya beban Uang Kuliah Tunggal (UKT) dalam dua tahun terakhir. Sejak tahun akademik 2024–2025, sejumlah mahasiswa dari berbagai fakultas menyuarakan bahwa besaran UKT yang diterapkan tidak sebanding dengan kondisi ekonomi banyak mahasiswa, terutama mereka yang berasal dari daerah pedalaman Papua dan keluarga berpenghasilan rendah.

Peningkatan UKT dianggap sebagai bentuk ketidakadilan struktural di dunia pendidikan tinggi, khususnya di Papua, di mana ketimpangan sosial-ekonomi masih tinggi. Selain itu, mahasiswa juga menyayangkan tidak adanya transparansi dalam penetapan nominal UKT dan kurangnya ruang dialog antara pihak rektorat dan mahasiswa. Kekecewaan mahasiswa diperparah oleh respons lembaga kampus yang dianggap lambat, tidak terbuka, dan menghindari pertanggungjawaban publik.

Aksi damai yang dimaksudkan untuk menyampaikan aspirasi secara terbuka kemudian berubah menjadi situasi bentrok akibat tindakan represif aparat keamanan yang dikerahkan ke lokasi. Gas air mata, peluru karet, dan water cannon digunakan untuk membubarkan massa, yang justru memperburuk eskalasi konflik. Aksi ini tidak hanya mencerminkan tuntutan atas kebijakan biaya pendidikan, tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap ketimpangan sosial dan pembungkaman ruang demokrasi di lingkungan akademik Papua.

2. Relevansi isu UKT dan respons negara

Uang Kuliah Tunggal (UKT) merupakan sistem pembiayaan pendidikan tinggi yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). UKT bertujuan untuk menyederhanakan biaya kuliah dengan membaginya ke dalam beberapa kelompok berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa. Namun dalam praktiknya, sistem ini justru kerap menimbulkan polemik karena ketidaksesuaian antara kelompok UKT yang ditetapkan dan kondisi ekonomi riil mahasiswa dan keluarganya.

Di Universitas Cenderawasih (UNCEN), sebagai satu-satunya perguruan tinggi negeri terbesar di Tanah Papua, isu UKT memiliki dimensi yang lebih kompleks. Banyak mahasiswa berasal dari daerah terpencil dan latar belakang ekonomi marginal. Dalam konteks ini, kenaikan UKT tidak hanya menjadi beban finansial, tetapi juga mempersempit akses masyarakat Papua terhadap pendidikan tinggi yang bermutu. Dengan kata lain, kebijakan UKT yang tidak sensitif terhadap ketimpangan sosial-ekonomi justru memperkuat eksklusi pendidikan.

Dari sisi negara, respons terhadap keresahan mahasiswa terkait UKT masih minim dan cenderung bersifat reaktif. Pemerintah pusat melalui Kemendikbudristek memang menyediakan skema bantuan seperti KIP-Kuliah, namun tidak semua mahasiswa bisa mengaksesnya secara adil. Selain itu, ketika perguruan tinggi berstatus Badan Layanan Umum (BLU), seperti UNCEN, beban pembiayaan pendidikan lebih besar ditanggung oleh institusi itu sendiri. Artinya, penurunan UKT dianggap sebagai ancaman terhadap keberlanjutan operasional kampus, dan negara belum menawarkan solusi konkret untuk mengisi kekosongan pendanaan tersebut.

Ketika tuntutan mahasiswa ditanggapi dengan pendekatan keamanan seperti pengerahan aparat untuk membubarkan aksi damai maka persoalan UKT tidak lagi semata soal angka, melainkan menyangkut hak atas pendidikan, demokrasi kampus, dan keadilan sosial. Respons represif semacam ini menunjukkan belum adanya kesadaran utuh dari negara bahwa kebijakan pendidikan harus berpijak pada prinsip inklusivitas dan keberpihakan kepada kelompok rentan.

Dengan demikian, isu UKT sangat relevan bukan hanya sebagai tuntutan teknis, tetapi sebagai kritik struktural terhadap sistem pendidikan tinggi yang belum berpihak kepada keadilan sosial, khususnya di wilayah tertinggal seperti Papua.

3. Tujuan dan fokus kajian

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis dinamika kekerasan yang terjadi dalam penanganan aksi demonstrasi mahasiswa Universitas Cenderawasih (UNCEN) pada 22 Mei 2025, khususnya dalam konteks tuntutan penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Aksi mahasiswa yang berawal dari ekspresi protes terhadap kebijakan kampus, berubah menjadi konflik terbuka akibat respons represif aparat keamanan.

Fokus kajian diarahkan pada dua aspek utama:

a. Aspek Sosial: Menelusuri dampak kekerasan terhadap kehidupan sosial mahasiswa, relasi antar kelompok, serta konsekuensi jangka panjang terhadap kebebasan berpendapat dan demokrasi kampus di Papua.

b. Aspek Institusional: Menganalisis peran dan sikap lembaga Universitas Cenderawasih dalam merespons aksi mahasiswa dan keterlibatannya (baik langsung maupun tidak langsung) dalam pendekatan kekerasan. Kajian ini juga menyoroti bagaimana relasi antara lembaga pendidikan, aparat negara, dan mahasiswa mencerminkan krisis otonomi dan tanggung jawab institusional.

Dengan pendekatan ini, tulisan ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap wacana akademik mengenai hak-hak sipil mahasiswa, praktik keamanan negara, serta pentingnya pembaruan institusi pendidikan dalam menjamin ruang demokrasi dan keadilan sosial, terutama di wilayah yang secara historis mengalami marginalisasi seperti Papua.


B. Tinjauan Konseptual dan Teoretis

1. Teori kekerasan negara (state violence)

Kekerasan negara (state violence) adalah bentuk kekerasan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh institusi negara baik melalui aparat keamanan, kebijakan, maupun sistem hukum yang menyebabkan penderitaan fisik, psikologis, atau struktural terhadap warga negara. Teori ini berakar pada kajian-kajian dalam ilmu politik, sosiologi kritis, dan kajian hak asasi manusia.

Menurut Galtung (1969), kekerasan tidak hanya bersifat langsung (direct violence), tetapi juga bisa bersifat struktural (structural violence), yaitu ketika sistem atau institusi menciptakan ketimpangan dan penderitaan secara sistematis. Dalam konteks kekerasan negara, keduanya bisa terjadi secara bersamaan.
Michel Foucault dalam analisisnya tentang kekuasaan dan kontrol sosial menjelaskan bahwa negara modern menggunakan mekanisme "pengawasan" dan "disiplin" melalui institusi-institusi seperti militer, polisi, dan pendidikan untuk menciptakan ketertiban, yang sering kali menormalisasi tindakan represif.

Teori ini mengasumsikan bahwa:

a. Negara memiliki monopoli atas alat-alat kekerasan (Weber, 1919), yang bisa disalahgunakan untuk meredam oposisi politik atau ekspresi publik seperti demonstrasi.

b. Tindakan represif dianggap sah oleh negara atas nama stabilitas atau keamanan, meskipun sering kali melanggar hak-hak sipil dan politik warga.

c. Kekerasan negara sering kali menimpa kelompok marginal, seperti mahasiswa, aktivis, atau etnis minoritas yang dianggap "mengancam" tatanan dominan.

Dalam konteks Universitas Cenderawasih, teori ini menjelaskan bagaimana aksi mahasiswa sebagai ekspresi demokratis justru dibalas dengan kekuatan koersif oleh aparat, yang menunjukkan ciri khas kekerasan negara: memaksakan ketertiban tanpa ruang dialog. Tindakan seperti pembubaran paksa, penggunaan senjata, dan kriminalisasi mahasiswa merupakan bentuk nyata dari kekerasan negara yang dapat menciptakan trauma kolektif dan merusak tatanan sipil di ruang akademik.

2. Hak atas kebebasan berpendapat dan berkumpul

Kebebasan berpendapat dan berkumpul secara damai merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum nasional maupun internasional. Hak ini menjadi fondasi penting dalam sistem demokrasi, karena memungkinkan warga negara, termasuk mahasiswa, untuk menyampaikan aspirasi, mengkritik kebijakan, dan memperjuangkan keadilan sosial secara terbuka dan tanpa rasa takut.

Secara hukum, hak ini diatur dalam:
a. Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan:
"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."

b. Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005:
"Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan mencari, menerima, dan menyampaikan informasi serta gagasan dalam bentuk apa pun, tanpa campur tangan."

c. Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum juga menjamin bahwa demonstrasi, unjuk rasa, dan penyampaian pendapat di ruang publik adalah hak sah warga negara.

Namun, dalam praktiknya, hak ini sering dibatasi melalui pendekatan represif oleh negara, terutama terhadap kelompok-kelompok yang menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah atau institusi. Pembatasan seperti itu seharusnya hanya dilakukan secara proporsional dan dengan alasan yang jelas, seperti untuk mencegah kekerasan, tetapi bukan untuk membungkam suara yang sah dan damai.

Dalam kasus aksi mahasiswa Universitas Cenderawasih (UNCEN), penggunaan kekerasan oleh aparat untuk membubarkan demonstrasi damai merupakan pelanggaran serius terhadap hak atas kebebasan berpendapat dan berkumpul. Tindakan tersebut tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga mengancam prinsip-prinsip demokrasi di ruang akademik, di mana dialog dan kritik seharusnya dijamin, bukan diberangus.

3. Otonomi kampus dan demokrasi akademik

Otonomi kampus adalah prinsip dasar yang menjamin perguruan tinggi memiliki kebebasan dalam mengatur urusan internalnya, termasuk dalam hal pendidikan, riset, tata kelola, serta kebijakan kemahasiswaan, tanpa intervensi yang berlebihan dari pihak eksternal baik negara maupun kelompok kepentingan lainnya. Otonomi ini dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan akademik yang bebas, kritis, dan inovatif.

Di sisi lain, demokrasi akademik mengacu pada kebebasan akademisi, dosen, dan mahasiswa untuk berpikir, mengemukakan pendapat, berdiskusi, serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di lingkungan kampus. Ini mencakup hak mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi secara terbuka, termasuk melalui demonstrasi, forum diskusi, atau kegiatan organisasi kemahasiswaan.

Dalam sistem pendidikan tinggi yang sehat, otonomi kampus dan demokrasi akademik berjalan seiring. Otonomi menjamin kampus tidak tunduk pada tekanan politik atau ekonomi, sedangkan demokrasi akademik memastikan bahwa sivitas akademika berperan aktif dan kritis dalam kehidupan kampus.
Namun, dalam praktiknya, prinsip-prinsip ini sering terancam, terutama ketika:
  • Rektorat kampus tunduk pada tekanan eksternal, termasuk aparat keamanan;
  • Aksi-aksi mahasiswa dibungkam dengan pendekatan represif;
  • Ruang dialog dan partisipasi mahasiswa dipersempit.
Kasus kekerasan dalam penanganan aksi mahasiswa Universitas Cenderawasih (UNCEN) pada 22 Mei 2025 menjadi cermin retaknya prinsip otonomi kampus dan demokrasi akademik. Ketika aparat TNI/POLRI diizinkan masuk dan membubarkan aksi mahasiswa yang bersifat internal kampus, maka yang terjadi bukan hanya pelanggaran terhadap hak-hak mahasiswa, tetapi juga kemunduran nilai-nilai demokrasi dalam institusi pendidikan tinggi.

Dalam konteks Papua, di mana akses terhadap pendidikan dan ruang demokrasi sudah terbatas, penting untuk menegaskan kembali bahwa kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi juga arena pembentukan kesadaran kritis dan ruang perjuangan damai bagi keadilan sosial.

C. Kronologi Aksi dan Tindakan Aparat

Urutan Kejadian Aksi 22 Mei 2025 di Universitas Cenderawasih (UNCEN)
1. Pagi Hari – Persiapan Aksi oleh Mahasiswa
  • Mahasiswa dari berbagai fakultas berkumpul di dalam area kampus Universitas Cenderawasih (UNCEN), Waena, Kota Jayapura.
  • Aksi ini direncanakan sebagai bentuk protes terhadap kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan kondisi ekonomi mahasiswa Papua yang semakin sulit.
2. Pukul 09.00 WIT – Massa Aksi Bergerak ke Depan Gapura Kampus
  • Massa aksi bergerak ke depan gapura utama kampus sebagai titik konsentrasi untuk menyampaikan tuntutan secara terbuka.
  • Aksi berlangsung damai, disertai orasi, poster, dan spanduk yang menuntut penurunan UKT serta transparansi kebijakan kampus.
3. Pukul 10.00 WIT – Kehadiran Aparat Keamanan
  • Aparat Kepolisian, termasuk satuan BRIMOB, Densus 88, Polresta Jayapura, dan BIN, mulai hadir dalam jumlah besar.
  • Aparat TNI dari Kodim 1701 juga dilaporkan mulai ikut berjaga di sekitar area aksi.
4. Pukul 10.30 WIT – Ketegangan Meningkat
  • Aparat mulai membentuk barikade dan memperingatkan massa untuk membubarkan diri.
  • Mahasiswa tetap bertahan dan melanjutkan orasi dengan damai.
5. Pukul 11.00 WIT – Pembubaran Paksa
  • Aparat mulai menembakkan gas air mata, menggunakan water cannon, peluru karet, dan rotan untuk membubarkan massa.
  • Situasi menjadi kacau. Mahasiswa lari ke dalam kampus dan permukiman sekitar. Terjadi bentrokan antara mahasiswa dan aparat.
6. Pukul 11.30 WIT – Insiden Kekerasan
  • Beberapa mahasiswa mengalami luka akibat pukulan dan tembakan gas air mata.
  • Salah satu mahasiswa, Tenis Aliknoe dari Fakultas Teknik, terkena tembakan gas air mata di bagian belakang kepala.
  • Sejumlah kendaraan, termasuk mobil Dalmas milik Polresta, dibakar dalam situasi yang tidak terkendali.
7. Pukul 12.00 WIT – Penyitaan dan Penangkapan
  • Aparat memasuki ruang-ruang Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Kabesma UNCEN.
  • Komputer, motor, dan dokumen milik UKM seperti PMK, KMK, DEHALING, BEM, dan MPM disita.
  • Beberapa mahasiswa dilaporkan ditahan dan dipukul saat diamankan.
8. Pukul 13.00 WIT – Kampus Sunyi, Aksi Terhenti
  • Kampus berangsur sunyi setelah aparat berhasil membubarkan massa.
  • Mahasiswa memilih mundur untuk konsolidasi dan merawat korban.
9. Pukul 14.00 WIT – Tuntutan dan Pernyataan Sikap Mahasiswa
Mahasiswa menyampaikan tuntutan melalui pernyataan terbuka, antara lain:
  • Penurunan UKT.
  • Pengembalian barang-barang yang disita.
  • Pertanggungjawaban atas tindakan represif aparat.
  • Peringatan akan aksi lanjutan jika tidak ada respons dari pihak rektorat dan aparat.
Profil aparat yang terlibat
1. BRIMOB (Brigade Mobil) Polda Papua
  • Satuan elit kepolisian yang ditugaskan untuk menangani situasi darurat, termasuk kerusuhan dan konflik bersenjata.
  • Dikenal dengan taktik penanganan massa menggunakan gas air mata, peluru karet, dan water cannon.
  • Terlibat langsung dalam pembubaran aksi mahasiswa di depan gapura kampus.
2. Densus 88 Antiteror
  • Unit khusus Polri yang biasanya menangani kasus terorisme.
  • Keterlibatannya dalam aksi ini dinilai berlebihan karena fungsi utamanya bukan pengamanan sipil, melainkan pemberantasan terorisme.
  • Kehadirannya mengindikasikan pendekatan keamanan yang militeristik terhadap aksi sipil.
3. Timsus Polda Papua (Tim Khusus)
  •  Satuan tugas khusus di bawah Polda Papua dengan kemampuan taktis untuk pengamanan khusus.
  • Biasanya diturunkan untuk situasi-situasi yang dianggap berisiko tinggi atau rawan konflik.
4. Kepolisian Resor Kota (Polresta) Jayapura
  • Bertanggung jawab langsung atas keamanan dan ketertiban di wilayah Kota Jayapura.
  • Menurunkan personel untuk pengamanan, termasuk mobil Dalmas yang dibakar dalam bentrokan.
5. Polsek Heram dan Polsek Abepura
  • Dua kepolisian sektor yang berada dalam lingkup wilayah kampus UNCEN.
  • Memberikan dukungan logistik dan personel dalam pengamanan aksi.
6. BIN (Badan Intelijen Negara) Perwakilan Papua
  • Bertugas melakukan pengawasan dan pengumpulan informasi intelijen.
  • Diduga terlibat dalam pemantauan aktivitas mahasiswa dan penyusupan ke dalam ruang-ruang diskusi kampus.
7. TNI (Tentara Nasional Indonesia) – Kodim 1701 Jayapura
  • Terlibat sebagai kekuatan tambahan non-polisi dalam pembubaran aksi.
  • Keterlibatan militer dalam penanganan aksi sipil dinilai sebagai bentuk pelanggaran prinsip pemisahan militer dari urusan sipil (civil-military relation).
Beberapa saksi menyatakan keterlibatan TNI dalam penindakan fisik terhadap mahasiswa.

Catatan Kritis:
Keterlibatan berbagai satuan kepolisian dan militer dalam satu aksi unjuk rasa mahasiswa memperlihatkan:

Pendekatan keamanan yang berlebihan terhadap gerakan sipil yang damai.

Minimnya upaya dialog antara mahasiswa dan lembaga kampus sebelum tindakan koersif dilakukan.

Terjadinya pelanggaran terhadap hak berkumpul dan berpendapat sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 dan hukum internasional.

3. Respons awal dari kampus dan pihak berwenang

1. Pihak Kampus Universitas Cenderawasih (UNCEN)

Diam dan Tidak Transparan: Hingga beberapa jam setelah insiden bentrokan terjadi, pihak rektorat belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait insiden kekerasan di depan gapura kampus.

Sikap Ambigu: Beberapa pernyataan tidak langsung dari pejabat kampus cenderung menyalahkan aksi mahasiswa tanpa mengakui peran aparat keamanan dalam eskalasi konflik.
Tidak Melindungi Mahasiswa: Tidak ada tindakan nyata dari lembaga kampus untuk melindungi hak-hak mahasiswa yang menjadi korban kekerasan atau penggusuran paksa.

Diduga Melibatkan Aparat: Berdasarkan kesaksian lapangan, aparat mulai masuk ke dalam kampus dengan kemungkinan restu atau koordinasi dari pihak lembaga, menunjukkan bahwa kampus cenderung memihak pada pendekatan represif.

2. Pihak Kepolisian dan TNI
Klaim Pengamanan Situasi: Kepolisian menyatakan bahwa pembubaran massa dilakukan karena aksi dianggap mengganggu ketertiban umum dan berpotensi memicu kericuhan.

Justifikasi Tindakan Kekerasan: Aparat berdalih penggunaan gas air mata, water cannon, dan kekuatan lainnya sebagai langkah “prosedural” dalam menangani massa.

Tidak Mengakui Eksesifitas: Hingga saat ini, belum ada pernyataan dari Polresta Jayapura maupun Polda Papua yang mengakui adanya pelanggaran hak asasi manusia atau kekerasan berlebihan dalam penanganan aksi.
Belum Ada Proses Pengembalian Barang: Motor, komputer, dan perlengkapan mahasiswa yang disita belum dikembalikan, dan tidak ada kejelasan tentang status penyitaan tersebut.

Catatan:
Respons awal dari pihak kampus dan aparat menunjukkan lemahnya komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi akademik dan perlindungan terhadap hak sipil mahasiswa. Pendekatan yang minim dialog, represif, dan tertutup ini memperburuk ketegangan dan mengikis kepercayaan mahasiswa terhadap lembaga pendidikan dan negara.


D. Bentuk Kekerasan dan Pelanggaran yang Terjadi

1. Kekerasan fisik dan psikologis

a. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik yang dialami mahasiswa bersifat langsung dan brutal, meliputi:
  • Penggunaan Gas Air Mata: Aparat menembakkan gas air mata ke arah massa aksi, termasuk ke dalam area kampus. Salah satu korban, Tenis Aliknoe, mahasiswa Fakultas Teknik UNCEN, mengalami luka serius di bagian kepala akibat terkena tembakan gas air mata.
  • Pemukulan dengan Tali Rotan dan Popor Senjata: Sejumlah mahasiswa dipukul oleh aparat menggunakan tali rotan, popor senjata, dan tongkat. Tindakan ini menyebabkan luka-luka terbuka dan memar pada tubuh korban.
  • Penembakan Peluru Karet dan Kartavel: Aparat diduga menggunakan peluru karet dan kartavel untuk membubarkan mahasiswa, yang berisiko menyebabkan luka permanen pada tubuh korban jika mengenai bagian vital.
  • Perusakan dan Penyitaan Barang: Aparat menyita dan merusak motor, komputer, dan properti milik organisasi mahasiswa di Kabesma UNCEN (BEM, MPM, UKM PMK, KMK, dll.) tanpa prosedur hukum yang jelas.
b. Kekerasan Psikologis
Selain luka fisik, mahasiswa juga mengalami dampak psikologis akibat tindakan represif aparat:
  • Trauma dan Ketakutan: Suasana teror yang ditimbulkan oleh gas air mata, suara tembakan, dan kekerasan langsung menciptakan trauma mendalam pada mahasiswa yang menyaksikan dan mengalami kekerasan tersebut.
  • Stigmatisasi dan Intimidasi: Kehadiran aparat intelijen serta penyusupan ke dalam lingkungan kampus menimbulkan rasa tidak aman. Mahasiswa merasa diawasi, diancam, bahkan dituduh sebagai pengganggu ketertiban negara.
  • Penghancuran Ruang Aman Akademik: Kampus, yang seharusnya menjadi ruang aman untuk berekspresi dan berdiskusi, berubah menjadi zona ketakutan. Hal ini menghambat kebebasan berpikir dan berekspresi mahasiswa.
Tindakan represif aparat tidak hanya menimbulkan kerusakan fisik, tetapi juga luka sosial dan psikologis yang mendalam. Kekerasan seperti ini memperlihatkan kegagalan negara dan institusi pendidikan dalam melindungi hak-hak warga sipil, khususnya mahasiswa, sebagai bagian dari masyarakat demokratis.

2. Pelanggaran hak sipil dan akademik

1. Pelanggaran Hak Sipil
Aksi mahasiswa yang dilakukan secara terbuka dan damai merupakan bagian dari hak sipil warga negara yang dijamin oleh konstitusi dan hukum internasional. Namun dalam insiden 22 Mei 2025, terdapat pelanggaran serius terhadap hak-hak tersebut, antara lain:
  • Hak atas Kebebasan Berkumpul dan Berekspresi: Dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
  • Aparat membubarkan aksi damai dengan cara kekerasan, yang menunjukkan tidak adanya perlindungan terhadap hak warga negara untuk menyampaikan aspirasi secara terbuka.
  • Hak atas Perlindungan dari Kekerasan Negara
  • Mahasiswa mengalami kekerasan fisik dan psikis akibat tindakan represif aparat, termasuk penggunaan gas air mata, peluru karet, dan pemukulan: Ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip perlakuan manusiawi oleh aparat penegak hukum.
  • Pelanggaran terhadap Hak atas Harta Pribadi dan Kolektif: Penyitaan dan pengrusakan barang milik mahasiswa seperti motor dan peralatan organisasi tanpa prosedur hukum merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak atas kepemilikan dan jaminan proses hukum.
2. Pelanggaran Hak Akademik
Sebagai institusi pendidikan, kampus memiliki tanggung jawab untuk menjamin ruang kebebasan akademik dan demokrasi di lingkungan perguruan tinggi. Dalam kasus ini, pelanggaran hak akademik terjadi dalam berbagai bentuk:
  • Tidak Melindungi Kebebasan Akademik Mahasiswa: Kampus gagal menciptakan ruang aman bagi mahasiswa untuk berpikir kritis, menyampaikan pendapat, dan berorganisasi secara bebas. Kampus justru terkesan membiarkan, atau bahkan mendukung, tindakan represif terhadap sivitas akademika.
  • Intervensi Aparat Keamanan ke dalam Ruang Akademik: Masuknya aparat TNI dan POLRI ke dalam area kampus dan penyitaan aset organisasi mahasiswa menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip otonomi perguruan tinggi. Kehadiran kekuatan bersenjata di ruang akademik mengganggu proses belajar, mengintimidasi, dan menghapus atmosfer kebebasan intelektual.
  • Diskriminasi dan Stigmatisasi Mahasiswa Kritis: Mahasiswa yang aktif dalam menyuarakan tuntutan keadilan UKT dipandang sebagai ancaman, bukan sebagai mitra dialog. Ini memunculkan stigma terhadap aktivisme mahasiswa yang sehat dalam demokrasi kampus.
Pelanggaran hak sipil dan akademik dalam penanganan aksi 22 Mei 2025 merupakan preseden buruk bagi masa depan demokrasi dan pendidikan tinggi di Papua. Negara, melalui aparat dan lembaga pendidikan, seharusnya menjadi pelindung, bukan pelaku pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpikir kritis.

 
E. Analisis Implikasi Sosial

1. Trauma kolektif dan ketakutan sipil

Trauma kolektif merujuk pada luka psikologis yang dialami bersama oleh suatu kelompok sosial akibat peristiwa kekerasan, penindasan, atau pelanggaran hak asasi manusia. Dalam konteks aksi 22 Mei 2025, trauma tidak hanya dialami oleh individu mahasiswa korban kekerasan, tetapi juga oleh komunitas akademik dan masyarakat sipil yang menyaksikan atau mengetahui tindakan represif aparat keamanan di lingkungan kampus.

a. Bentuk-Bentuk Trauma Kolektif
  • Ketakutan Berlebihan terhadap Aktivisme Mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan merasa terintimidasi dan ragu untuk menyuarakan pendapat atau melakukan aksi damai karena takut akan pembalasan, pemantauan, atau kekerasan serupa.
  • Normalisasi Kekerasan oleh Negara Ketika tindakan represif aparat dianggap sebagai hal biasa dan tidak dikoreksi oleh pihak kampus atau negara, maka masyarakat mulai menginternalisasi bahwa kekerasan adalah satu-satunya respons terhadap kritik.
  • Hilangnya Kepercayaan terhadap Lembaga Ketidakberpihakan kampus serta sikap negara yang membiarkan kekerasan aparat menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap institusi pendidikan dan pemerintahan sebagai pelindung rakyat.
  • Stres Psikososial dan Kecemasan Kolektif Mahasiswa yang mengalami langsung kekerasan atau menyaksikan penyerangan merasa cemas, sulit berkonsentrasi dalam kegiatan akademik, dan mengalami gejala trauma seperti mimpi buruk, kelelahan emosional, dan withdrawal sosial.
b. Ketakutan Sipil di Lingkungan Kampus
  • Mahasiswa mulai membatasi kegiatan diskusi, pengorganisasian, dan kehadiran dalam forum terbuka karena merasa diawasi atau ditandai.
  • Organisasi mahasiswa menjadi lumpuh akibat kehilangan aset dan tekanan psikologis.
  • Ruang intelektual menjadi tertutup oleh rasa takut, menurunkan kualitas dialog kritis yang seharusnya hidup di lingkungan universitas.
c. Dampak Jangka Panjang
  • Radikalisasi atau Apatisme: Trauma yang tidak ditangani dapat memicu dua arah ekstrem radikalisasi sikap atau sikap apatis terhadap isu sosial dan politik.
  • Pudarnya Tradisi Gerakan Mahasiswa: Ketakutan sipil mengikis keberanian generasi mahasiswa untuk menyuarakan keadilan, yang berdampak langsung pada demokrasi kampus dan sosial.
  • Pewarisan Trauma Antar Generasi: Ketakutan tidak hanya berhenti pada pelaku langsung, tetapi diwariskan sebagai memori kolektif yang menghambat kebangkitan kesadaran sipil di masa depan.
Trauma kolektif dan ketakutan sipil yang lahir dari kekerasan negara bukan hanya luka psikologis, tetapi juga luka sosial dan politik. Untuk memulihkan kondisi tersebut, dibutuhkan akuntabilitas, pemulihan korban, serta pemulihan ruang-ruang kebebasan akademik dan demokrasi.

2. Dampak terhadap gerakan mahasiswa di Papua

a. Stagnasi Gerakan dan Ruang Demokrasi Kampus yang Terbatas

Pasca kekerasan dan intimidasi oleh aparat, banyak mahasiswa menjadi takut untuk terlibat dalam aksi-aksi kolektif. Ruang-ruang diskusi, forum kajian kritis, dan rapat-rapat organisasi mahasiswa menjadi sepi atau dibubarkan secara paksa. Ketakutan akan pengawasan, pemukulan, bahkan kriminalisasi membuat dinamika gerakan mahasiswa mengalami stagnasi.

b. Disintegrasi Internal Organisasi Kemahasiswaan

Penyitaan barang-barang milik organisasi mahasiswa (BEM, MPM, UKM, dll.) serta penangkapan atau perburuan terhadap aktivis kampus menyebabkan keretakan internal organisasi. Beberapa pengurus terpaksa menyembunyikan diri, sementara lainnya berhenti beraktivitas demi menjaga keamanan diri. Hal ini memutus kesinambungan kaderisasi dan memperlemah struktur gerakan mahasiswa.

c. Pergeseran Fokus dari Substansi Isu ke Survival

Akibat situasi represif, mahasiswa tidak lagi bebas membahas atau mengadvokasi isu-isu strategis seperti ketimpangan pendidikan, diskriminasi struktural, atau ketidakadilan sosial. Sebaliknya, energi gerakan terfokus pada upaya bertahan, menghindari penangkapan, atau memulihkan organisasi yang hancur. Ini membuat perjuangan substantif, seperti tuntutan penurunan UKT, kehilangan momentum.

d. Menurunnya Kepercayaan terhadap Institusi Kampus

Tindakan pasif atau ambigu dari pihak rektorat UNCEN dalam merespons kekerasan aparat terhadap mahasiswanya sendiri menyebabkan mahasiswa kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap institusi kampus sebagai ruang pengayom dan fasilitator akademik. Ini memunculkan sikap sinis terhadap birokrasi kampus, yang dipersepsi lebih tunduk pada tekanan eksternal (militer/pemerintah) daripada pada kepentingan mahasiswa.

e. Radikalisasi dan Polarisasi Gerakan

Reaksi keras dari aparat berpotensi mendorong sebagian mahasiswa menjadi lebih radikal dalam menyuarakan ketidakadilan, karena jalan-jalan dialog formal dan damai dianggap tidak efektif. Sebagian lainnya menjadi apatis dan menarik diri dari aktivitas kolektif. Polarisasi ini dapat memecah kesatuan gerakan mahasiswa di Papua, serta menghambat sinergi dengan jaringan sipil lainnya.

f. Pewarisan Memori Luka Kolektif

Kejadian kekerasan terhadap mahasiswa pada 22 Mei 2025 menambah daftar panjang luka sejarah dalam gerakan sosial di Papua. Hal ini menjadi bagian dari memori kolektif generasi muda Papua yang menyimpan trauma terhadap negara, dan dapat berpengaruh terhadap sikap politik dan sosial mahasiswa dalam jangka panjang.

Kekerasan terhadap mahasiswa tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga merusak struktur, semangat, dan masa depan gerakan mahasiswa. Jika situasi ini dibiarkan tanpa pemulihan, maka kampus dan masyarakat Papua kehilangan salah satu kekuatan kritis utama dalam mendorong keadilan sosial dan perubahan struktural. Pemulihan demokrasi kampus, jaminan kebebasan berekspresi, serta perlindungan terhadap hak-hak mahasiswa menjadi langkah mendesak untuk memulihkan kondisi ini.

3. Hubungan sipil-militer dalam konteks lokal

a. Karakteristik Umum Hubungan Sipil-Militer di Papua

Hubungan antara masyarakat sipil dan militer di Papua memiliki ciri khas yang berbeda dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Papua adalah wilayah yang secara historis dan politis memiliki dinamika ketegangan antara aspirasi rakyat sipil dengan pendekatan keamanan negara. Di sini, militer tidak hanya berperan sebagai institusi pertahanan, tetapi juga menjadi aktor dominan dalam urusan sipil baik melalui pengamanan, pengawasan aktivitas masyarakat, hingga keterlibatan dalam proyek pembangunan dan pendidikan.

b. Dominasi Militer dalam Ruang Sipil

Dalam banyak kasus, militer dan kepolisian sering menjadi instrumen utama negara dalam merespons ekspresi sipil, termasuk demonstrasi mahasiswa dan aktivisme masyarakat adat. Keterlibatan aparat dalam pembubaran aksi damai di lingkungan kampus, seperti yang terjadi di Universitas Cenderawasih pada 22 Mei 2025, mencerminkan kuatnya peran militer dalam urusan yang seharusnya ditangani secara sipil dan akademik.

Dominasi ini menunjukkan lemahnya prinsip subordinasi militer di bawah kendali sipil yang demokratis, dan justru memperkuat pola militeristik dalam pengelolaan konflik sosial.

c. Militerisasi Kampus dan Lembaga Sipil

Fenomena keterlibatan aparat dalam aktivitas di lingkungan kampus menunjukkan gejala militerisasi ruang akademik. Ini menciptakan suasana represif yang menghambat kebebasan akademik dan intelektual. Kehadiran aparat bersenjata di wilayah pendidikan tidak hanya mengancam keamanan fisik mahasiswa, tetapi juga menekan psikologis dan membatasi ruang berpikir kritis.

d. Ketimpangan Relasi Kekuasaan

Dalam konteks Papua, militer sering kali ditempatkan sebagai pelindung kepentingan negara dan investasi, sedangkan masyarakat sipil terutama mereka yang bersuara kritis dianggap ancaman stabilitas. Hal ini memperlihatkan relasi kekuasaan yang timpang, di mana warga tidak memiliki posisi tawar yang setara dalam menyuarakan hak-haknya. Hubungan ini menciptakan jurang ketidakpercayaan antara masyarakat sipil dan negara.

e. Dampak Terhadap Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Hubungan sipil-militer yang tidak seimbang berisiko mengikis nilai-nilai demokrasi. Ketika tindakan represif terhadap aksi mahasiswa dilegitimasi oleh negara dan institusi pendidikan, maka prinsip supremasi hukum dan perlindungan HAM kehilangan makna. Di Papua, relasi ini telah lama menjadi akar dari siklus kekerasan, diskriminasi struktural, dan pengabaian terhadap suara masyarakat lokal.

Hubungan sipil-militer di Papua mencerminkan situasi ketegangan antara pendekatan keamanan negara dan kebutuhan masyarakat sipil akan ruang demokratis dan keadilan sosial. Untuk menciptakan hubungan yang sehat dan berkeadilan, diperlukan reformasi sektor keamanan, penguatan supremasi sipil, serta penghormatan terhadap hak-hak dasar warga, khususnya di ruang-ruang pendidikan dan kebebasan berekspresi.
 
F. Analisis Implikasi Institusional

1. Reputasi dan legitimasi lembaga kampus

Dalam konteks pendidikan tinggi, reputasi merujuk pada citra baik yang dibangun oleh perguruan tinggi di mata publik, terutama terkait dengan mutu akademik, integritas kelembagaan, dan peran sosialnya. Sementara itu, legitimasi adalah penerimaan moral dan sosial terhadap otoritas kampus sebagai institusi yang dipercaya mengelola pengetahuan, membentuk generasi muda, dan menjaga nilai-nilai demokrasi dan keadilan.

a. UNCEN dalam Sorotan: Krisis Legitimasi
Peristiwa kekerasan yang terjadi pada 22 Mei 2025 di depan kampus Universitas Cenderawasih telah mencoreng reputasi institusi akademik ini secara serius. Ketika aparat keamanan membubarkan aksi damai mahasiswa dengan cara represif, dan pihak kampus tidak memberikan perlindungan atau respons tegas, publik melihat adanya pembiaran bahkan keterlibatan tidak langsung dari lembaga terhadap tindakan kekerasan tersebut.

Diamnya lembaga dalam melindungi hak berekspresi mahasiswa memberi kesan bahwa kampus lebih tunduk pada tekanan eksternal daripada berpihak pada nilai-nilai keilmuan dan keadilan. Hal ini berpotensi memperlemah legitimasi moral UNCEN di mata mahasiswa, masyarakat sipil, dan dunia akademik nasional.

b. Kampus sebagai Ruang Aman yang Terganggu

Salah satu pilar utama reputasi perguruan tinggi adalah kemampuannya menyediakan ruang aman bagi ekspresi intelektual, kebebasan berpendapat, dan pembentukan karakter kritis. Ketika kampus menjadi lokasi penembakan gas air mata, penyitaan barang mahasiswa, dan bentrokan, maka nilai-nilai tersebut secara nyata dilanggar. Ketakutan yang muncul akibat situasi ini turut menggerus kepercayaan mahasiswa terhadap institusi mereka sendiri.

c. Dampak Jangka Panjang

Krisis legitimasi ini bisa berdampak jangka panjang pada relasi antara mahasiswa dan birokrasi kampus. Ketika mahasiswa merasa kampus tidak lagi menjadi tempat untuk menyalurkan aspirasi secara sah, maka potensi alienasi, radikalisasi, atau penarikan diri dari partisipasi akademik bisa terjadi. Di sisi lain, reputasi UNCEN di tingkat nasional maupun internasional juga terancam, terutama jika dianggap tidak mampu menjamin HAM dan kebebasan akademik.

Reputasi dan legitimasi lembaga kampus seperti UNCEN sangat bergantung pada keberpihakan mereka terhadap nilai-nilai akademik, demokrasi, dan kemanusiaan. Ketika kampus gagal bersikap adil dan terbuka terhadap kritik mahasiswa, maka kepercayaan publik akan runtuh, dan citra ilmiah serta etis institusi pun ikut hancur. Diperlukan langkah-langkah pemulihan yang tegas dan transparan untuk membangun kembali kepercayaan dan martabat institusi pendidikan tinggi di Papua.

2. Tanda-tanda kooptasi dan konflik kepentingan

Kooptasi merujuk pada proses ketika suatu lembaga atau pihak eksternal menyusupi dan mengendalikan kebijakan atau tindakan suatu institusi untuk tujuan tertentu, sehingga independensi institusi tersebut terganggu. Konflik kepentingan terjadi ketika pengambil kebijakan terlibat dalam situasi di mana keputusan yang diambil bisa menguntungkan dirinya sendiri, kelompok tertentu, atau pihak luar, alih-alih berdasarkan kepentingan publik.
Dalam konteks UNCEN, dua gejala ini tampak dalam cara kampus dan aparat menangani aksi demonstrasi mahasiswa pada 22 Mei 2025.

a. Indikasi Kooptasi Lembaga Kampus
  • Keterlibatan Aparat dalam Wilayah Kampus: Masuknya aparat bersenjata ke dalam kampus dan penggunaan kekuatan berlebihan terhadap mahasiswa menunjukkan adanya penyerahan kendali atas keamanan kampus kepada institusi eksternal. Ini mengindikasikan bahwa otonomi kampus tidak dijaga sebagaimana mestinya.
  • Diamnya Pimpinan Kampus terhadap Kekerasan: Ketika rektorat atau pejabat kampus tidak memberikan pembelaan terhadap korban kekerasan atau justru membenarkan tindakan represif aparat, muncul dugaan bahwa lembaga telah dikooptasi oleh agenda keamanan negara atau kepentingan tertentu yang mengorbankan mahasiswa.
  • Ketertutupan terhadap Dialog: Tidak adanya upaya aktif dari pihak kampus untuk membuka ruang dialog sebelum terjadinya kekerasan juga memperkuat indikasi bahwa keputusan lembaga tidak lagi berlandaskan prinsip akademik, melainkan tekanan eksternal.
b. Konflik Kepentingan dalam Pengambilan Keputusan
  • Investasi dan Proyek Pembangunan: Jika lembaga kampus memiliki keterlibatan atau kepentingan dalam proyek pembangunan infrastruktur atau kerja sama dengan pihak eksternal (misalnya, pemerintah atau perusahaan), maka aksi mahasiswa dianggap ancaman terhadap kelangsungan proyek tersebut. Ini menciptakan konflik antara perlindungan hak mahasiswa dengan kelangsungan kerja sama ekonomi-politik.
  • Peran Ganda Aparat: Aparat keamanan yang memiliki posisi formal dalam struktur kampus (seperti Satgas pengamanan yang berasal dari TNI/POLRI) menciptakan ruang konflik kepentingan antara fungsi pengamanan dan kebebasan akademik.
  • Pengambilan Keputusan Tidak Transparan: Keputusan menaikkan UKT tanpa keterlibatan mahasiswa dan kurangnya transparansi penggunaan dana kampus dapat menimbulkan kecurigaan adanya kepentingan tersembunyi dalam pengelolaan keuangan lembaga.
Tanda-tanda kooptasi dan konflik kepentingan di Universitas Cenderawasih muncul secara nyata dalam konteks penanganan aksi mahasiswa. Ketika lembaga pendidikan tidak lagi berpihak pada kepentingan mahasiswanya, melainkan tunduk pada kekuasaan eksternal atau kepentingan proyek, maka independensi akademik dan legitimasi moral kampus berada dalam krisis serius. Deteksi awal terhadap gejala ini sangat penting untuk mendorong pemulihan otonomi kampus dan menegakkan prinsip keadilan dalam ruang akademik.

3. Otonomi kampus dalam bayang-bayang kekuasaan

a. Makna Otonomi Kampus

Otonomi kampus adalah prinsip dasar yang menjamin kebebasan institusi pendidikan tinggi dalam mengelola urusan akademik, keuangan, organisasi, dan kemahasiswaan secara independen dari intervensi eksternal, khususnya kekuasaan negara dan kekuatan ekonomi. Otonomi ini penting untuk menjaga integritas ilmiah, kebebasan berpikir, dan daya kritis civitas akademika dalam menyuarakan kebenaran serta keadilan sosial.

b. Pelemahan Otonomi dalam Konteks UNCEN

Peristiwa pembubaran paksa aksi mahasiswa Universitas Cenderawasih (UNCEN) pada 22 Mei 2025 menjadi salah satu bukti nyata melemahnya otonomi kampus. Ketika aparat TNI/POLRI masuk ke area kampus dengan perlengkapan senjata dan menggunakan kekerasan terhadap mahasiswa, tanpa penolakan atau perlindungan dari pimpinan kampus, maka dapat dikatakan bahwa ruang otonomi kampus telah terkooptasi oleh kekuasaan negara.

Diamnya rektorat terhadap tindak kekerasan yang dilakukan di lingkungan akademik mengindikasikan posisi subordinatif kampus terhadap kepentingan politik dan keamanan, bukan pada keberpihakan terhadap nilai-nilai akademik dan demokrasi.

c. Indikasi Kontrol Kekuasaan terhadap Lembaga Pendidikan

Beberapa tanda bahwa kekuasaan mulai membayangi dan mengendalikan otonomi kampus antara lain:
  • Keterlibatan aparat keamanan dalam pengambilan keputusan strategis kampus, termasuk keamanan dan penanganan aksi mahasiswa.
  • Ketakutan pejabat kampus untuk bersikap kritis terhadap tindakan represif negara.
  • Orientasi pembangunan kampus yang berfokus pada investasi infrastruktur daripada kesejahteraan mahasiswa dan kualitas pendidikan.
Kondisi ini menciptakan iklim represif dalam ruang akademik, di mana kebebasan berpikir dan bersuara mahasiswa maupun dosen mulai teredam oleh rasa takut terhadap sanksi atau represi.

d. Dampak Jangka Panjang

Ketika otonomi kampus terus berada dalam bayang-bayang kekuasaan, maka terjadi penurunan kualitas demokrasi akademik. Kampus bukan lagi tempat yang netral dan merdeka untuk berpikir, melainkan berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan dan proyek ekonomi-politik. Mahasiswa kehilangan kepercayaan terhadap lembaganya, dan proses pendidikan terdegradasi menjadi sekadar birokrasi formal tanpa kekuatan moral dan intelektual.

Kejadian di UNCEN mencerminkan krisis serius dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia, terutama dalam menjamin otonomi kampus. Jika tidak ada upaya pemulihan, kampus akan kehilangan identitasnya sebagai benteng keilmuan dan kebenaran. Oleh karena itu, penting bagi civitas akademika, masyarakat sipil, dan pembuat kebijakan untuk memperjuangkan kembali otonomi kampus yang sejati lepas dari intervensi kekuasaan dan berpihak pada kemanusiaan serta keadilan sosial.
 

G. Kesimpulan

1. Ringkasan temuan utama
  • Kekerasan Negara terhadap Mahasiswa: Penanganan aksi mahasiswa Universitas Cenderawasih (UNCEN) pada 22 Mei 2025 oleh aparat TNI dan POLRI ditandai dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan, termasuk gas air mata, water cannon, pemukulan, dan perampasan barang. Tindakan ini menimbulkan luka fisik dan trauma psikologis di kalangan mahasiswa.
  • Pelanggaran Hak Sipil dan Akademik: Tindakan aparat masuk ke dalam lingkungan kampus dan represif terhadap aksi damai merupakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi, berkumpul, dan kebebasan akademik. Peristiwa ini mencederai prinsip-prinsip demokrasi dalam pendidikan tinggi.
  • Lemahnya Respons Institusional Kampus: Pihak universitas tidak menunjukkan sikap tegas dalam melindungi hak-hak mahasiswanya. Ketiadaan pernyataan resmi, perlindungan hukum, maupun ruang dialog menunjukkan lemahnya posisi kampus dalam membela nilai-nilai akademik dan kemanusiaan.
  • Kooptasi dan Konflik Kepentingan: Indikasi adanya kooptasi lembaga oleh kekuasaan tampak dari sikap pasif kampus dan kemungkinan keterkaitan antara investasi, stabilitas proyek kampus, serta pembungkaman suara mahasiswa. Hal ini menciptakan konflik kepentingan antara kepentingan institusi dan perjuangan mahasiswa.
  • Dampak Sosial dan Psikologis: Aksi represif aparat menciptakan trauma kolektif, rasa takut, dan mengurangi semangat perjuangan mahasiswa di Papua. Selain itu, kepercayaan terhadap lembaga pendidikan dan negara mengalami erosi serius.
  • Kemunduran Demokrasi Akademik dan Otonomi Kampus: Peristiwa ini mencerminkan kemunduran dalam demokrasi akademik dan kebebasan berpikir. Kampus sebagai ruang kritis mulai kehilangan otonominya dan berada dalam bayang-bayang kekuasaan negara.
2. Tantangan dan peluang perbaikan

a. Tantangan
  • Militerisasi Ruang Sipil dan Akademik: Keberadaan aparat keamanan bersenjata di lingkungan kampus menandai militerisasi ruang sipil yang mengancam kebebasan akademik. Ketakutan dan represi menjadi hambatan utama bagi pengembangan budaya berpikir kritis.
  • Kooptasi Institusi Pendidikan: Ketergantungan kampus pada kekuasaan negara, baik melalui kebijakan pembiayaan maupun keamanan, menempatkan institusi pendidikan tinggi dalam posisi yang rentan terhadap konflik kepentingan dan pengabaian hak mahasiswa.
  • Minimnya Perlindungan terhadap Hak Mahasiswa: Tidak adanya mekanisme internal kampus yang responsif terhadap kekerasan atau pelanggaran hak sipil menjadikan mahasiswa lebih rentan terhadap kriminalisasi dan intimidasi.
  • Lemahnya Penegakan Hukum dan Akuntabilitas: Ketiadaan tindak lanjut hukum terhadap kekerasan aparat menyebabkan budaya impunitas tetap subur, dan pelaku kekerasan tidak mendapat sanksi yang setimpal.
  • Stigmatisasi Gerakan Mahasiswa di Papua: Aksi mahasiswa Papua sering kali dipolitisasi atau dilabeli sebagai ancaman keamanan, padahal tuntutan mereka murni bersifat sosial dan akademik.
b. Peluang Perbaikan
  • Mendorong Reformasi Tata Kelola Kampus: UNCEN dan kampus-kampus lain dapat merevisi kebijakan internal untuk memperkuat peran senat akademik, lembaga kemahasiswaan, dan unit bantuan hukum mahasiswa sebagai garda depan perlindungan hak.
  • Pemulihan Otonomi Kampus: Penguatan otonomi kampus secara kelembagaan melalui desentralisasi pengambilan keputusan dan penolakan terhadap intervensi eksternal menjadi dasar untuk menjamin ruang akademik yang merdeka dan demokratis.
  • Peningkatan Kesadaran Hak Asasi dan Pendidikan Kritis: Mendorong integrasi pendidikan HAM, demokrasi, dan resolusi konflik ke dalam kurikulum dan aktivitas kampus untuk membentuk generasi akademisi yang peka dan berdaya.
  • Dialog Partisipatif dan Mediasi Institusional: Membuka ruang dialog antara mahasiswa, dosen, aparat, dan rektorat sebagai bentuk penyelesaian damai dan konstruktif terhadap aspirasi. Mediasi yang melibatkan tokoh-tokoh independen dapat membantu memulihkan kepercayaan.
  • Koalisi Sipil untuk Demokrasi Akademik: Kolaborasi antara mahasiswa, dosen, organisasi masyarakat sipil, dan media penting untuk memperkuat advokasi, pemantauan kekerasan, serta menekan lembaga agar akuntabel.
Tantangan besar memang membayangi gerakan mahasiswa dan otonomi kampus di Papua, namun setiap krisis juga membuka peluang bagi transformasi. Dengan komitmen bersama dari berbagai aktor, ruang akademik yang lebih demokratis, aman, dan berpihak pada keadilan dapat diwujudkan.
 

H. Rekomendasi

1. Untuk lembaga kampus (UNCEN)
  • Menegakkan Prinsip Otonomi Kampus secara Tegas : UNCEN perlu secara terbuka menegaskan bahwa kampus adalah ruang ilmiah yang bebas dari intervensi kekuasaan militer dan kepolisian. Hal ini dapat dilakukan dengan menyusun protokol keamanan berbasis perlindungan hak-hak mahasiswa, serta menolak masuknya aparat bersenjata ke dalam lingkungan akademik tanpa urgensi hukum yang jelas.
  • Membangun Mekanisme Respon Krisis dan Perlindungan Mahasiswa: Kampus harus membentuk unit tanggap darurat independen yang melibatkan perwakilan mahasiswa, dosen, dan tenaga profesional di bidang hukum dan psikologi untuk merespons kasus kekerasan, penangkapan, atau trauma yang dialami mahasiswa.
  • Mengadakan Forum Dialog Terbuka dan Mediasi Institusional: UNCEN perlu membuka ruang dialog terbuka dengan mahasiswa secara rutin, terutama saat terjadi krisis atau konflik. Pendekatan persuasif dan inklusif lebih efektif daripada pendekatan represif.
  • Merevisi dan Transparankan Kebijakan UKT: Lembaga kampus harus melakukan evaluasi ulang terhadap kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) secara partisipatif dengan melibatkan mahasiswa dan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi mahasiswa Papua. Transparansi dalam penentuan dan penggunaan dana UKT penting untuk membangun kepercayaan.
  • Melindungi Hak Sipil dan Akademik Mahasiswa: UNCEN wajib menjamin hak mahasiswa untuk berpendapat, berkumpul, dan menyampaikan aspirasi sesuai dengan amanat UUD 1945 dan UU Sistem Pendidikan Nasional. Rektor dan pimpinan fakultas harus bersikap sebagai mediator, bukan pelindung kekuasaan.
  • Memulihkan Reputasi Institusional melalui Tindakan Etis: UNCEN perlu mengambil langkah pemulihan nama baik institusi dengan menyampaikan permintaan maaf kepada mahasiswa korban, membentuk tim investigasi independen atas kekerasan yang terjadi, dan memberikan sanksi terhadap pihak internal yang terbukti lalai atau berkontribusi dalam konflik.
  • Mendorong Kurikulum Kritis dan Pendidikan Demokrasi: UNCEN bisa menjadi pionir di Papua dengan mengintegrasikan pendidikan hak asasi manusia, demokrasi, dan resolusi konflik ke dalam kurikulum maupun kegiatan kemahasiswaan agar tercipta generasi akademik yang sadar dan berani menyuarakan keadilan secara konstruktif.
2. Untuk aparat keamanan
  • Menghormati Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Sipil: Aparat keamanan harus menghormati hak mahasiswa untuk menyampaikan pendapat secara damai sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28 dan peraturan perundangan lainnya. Aksi demonstrasi tidak boleh dibalas dengan kekerasan atau intimidasi.
  • Menghindari Pendekatan Represif di Lingkungan Kampus: Kampus adalah ruang akademik yang harus dijaga netralitas dan kedamaiannya. Aparat perlu menghindari penggunaan senjata, gas air mata, atau taktik kekerasan di area institusi pendidikan, kecuali dalam situasi yang benar-benar darurat dan sesuai protokol HAM.
  • Mengedepankan Pendekatan Humanis dan Negosiasi: Dalam menangani aksi mahasiswa, pendekatan yang mengedepankan dialog, mediasi, dan negosiasi harus menjadi pilihan utama. Aparat sebaiknya menjalin komunikasi langsung dengan koordinator aksi sebelum mengambil tindakan.
  • Memperkuat Pelatihan Penanganan Unjuk Rasa Berbasis HAM: Aparat keamanan perlu mengikuti pelatihan khusus tentang penanganan aksi unjuk rasa secara profesional, proporsional, dan sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
  • Menjaga Independensi dan Netralitas dari Kepentingan Politik dan Institusi Lain: Aparat keamanan tidak boleh menjadi alat kekuasaan atau pihak kampus untuk membungkam suara kritis mahasiswa. Independensi dan netralitas aparat adalah prinsip penting dalam menjaga demokrasi.
  • Bertanggung Jawab atas Tindakan Kekerasan: Segala bentuk kekerasan, penembakan gas air mata yang membabi buta, pemukulan, dan perampasan barang mahasiswa harus diusut secara transparan. Aparat yang terlibat harus ditindak sesuai hukum untuk mencegah impunitas.
  • Mengembalikan Barang-barang Milik Mahasiswa dan UKM: Aparat harus segera mengembalikan seluruh barang milik mahasiswa dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang disita, serta memberikan penjelasan resmi mengenai dasar hukum tindakan tersebut.
  • Membangun Hubungan Kooperatif dan Edukatif dengan Kampus: Aparat bisa mengambil peran membangun kepercayaan masyarakat sipil dengan mendukung kegiatan edukatif, bukan represif, dan menjadi pelindung masyarakat, bukan pihak yang memicu ketakutan.
3. Untuk kementerian pendidikan dan masyarakat sipil
  • Melakukan Evaluasi Khusus terhadap Kebijakan UKT di Daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar): Kemendikbudristek perlu meninjau ulang kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) secara nasional, khususnya bagi perguruan tinggi negeri di wilayah seperti Papua, dengan mempertimbangkan kesenjangan ekonomi dan akses pendidikan.
  • Mendorong Penguatan Otonomi Kampus dan Demokrasi Akademik: Pemerintah harus mendorong implementasi nyata otonomi kampus, serta menjamin bahwa perguruan tinggi tidak tunduk pada tekanan kekuasaan militer, kepolisian, maupun kekuatan politik lain di luar kepentingan akademik.
  • Menyelidiki Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Lingkungan Kampus: Kemendikbudristek harus membentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki kekerasan yang terjadi di UNCEN, serta menindak tegas jika ditemukan pelanggaran prosedural atau etis dalam kerja sama kampus dengan aparat.
  • Memberikan Dukungan Psikososial dan Hukum bagi Korban: Kementerian perlu menjamin akses pemulihan trauma dan bantuan hukum bagi mahasiswa atau sivitas akademika yang menjadi korban kekerasan dalam aksi demonstrasi.
  • Memperkuat Peran Ombudsman Pendidikan Tinggi: Membentuk atau mengaktifkan saluran pengaduan nasional yang efektif bagi mahasiswa dan dosen untuk melaporkan pelanggaran akademik, kekerasan, atau penyalahgunaan wewenang di lingkungan kampus.
4. Rekomendasi untuk Masyarakat Sipil
  • Menggalang Solidaritas dan Advokasi Bersama Mahasiswa: Organisasi masyarakat sipil (OMS), LSM HAM, lembaga keagamaan, dan media independen perlu membangun jaringan solidaritas dengan mahasiswa Papua, serta mengadvokasi hak-hak mereka secara lokal, nasional, dan internasional.
  • Melakukan Pemantauan Kekerasan Negara di Ruang Akademik: Masyarakat sipil dapat berperan sebagai pengawas independen terhadap praktik kekerasan aparat di ruang pendidikan, serta mendokumentasikan pelanggaran untuk kepentingan advokasi dan perubahan kebijakan.
  • Mendorong Pendidikan Publik tentang Hak Sipil dan Demokrasi: LSM dan komunitas pendidikan dapat menyelenggarakan forum, diskusi, atau kampanye untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai pentingnya kebebasan akademik, hak menyampaikan pendapat, dan peran kampus dalam demokrasi.
  • Memberikan Pendampingan Hukum dan Psikososial: Lembaga bantuan hukum dan organisasi psikososial dapat bekerja sama dengan mahasiswa untuk memberikan dukungan bagi korban kekerasan atau kriminalisasi dalam aksi damai.
  • Mengangkat Isu Papua secara Kritis dan Empatik: Masyarakat sipil di luar Papua diharapkan mengangkat narasi Papua dengan pendekatan yang adil, empatik, dan berbasis hak, untuk melawan stereotip serta memperjuangkan keadilan pendidikan bagi masyarakat adat.



(*Penulis adalah Alumnus Universitas Satya Wiyata Mandala Nabire, FKIP, Pendidikan Bahasa Inggris dan pengajar di SMA Negeri 1 Dogiyai sebagai guru honorer tidak tetap).

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update