Di ufuk pagi, mentari menari
menyapu pasir emas di Pantai Nabire.
Ombak bersenandung lirih
menyambut jejak-jejak pengunjung yang riuh.
Anak-anak Papua berlari,
tertawa membawa riang dalam pelukan laut.
Di mata mereka, pantai ini suci
tempat doa, tempat cerita, tempat hati bersatu.
Namun tampaklah,
botol plastik mengambang di bibir gelombang,
bekas makan berserakan,
bungkus mimpi yang dibuang tanpa malu.
Keindahan jadi saksi luka,
pantai pun berbisik dalam nestapa:
"Mengapa aku dijadikan tempat buang sisa,
padahal aku pelipur lara kalian semua?"
Seperti kehidupan kami kini,
orang Papua yang berdiri di tanah sendiri
tapi harus menunduk di negeri sendiri,
jadi penonton atas janji-janji yang basi.
Sampah-sampah itu adalah lambang ketidakpedulian yang menjelma kebiasaan,
keindahan yang dikorbankan untuk kenyamanan,
rakyat yang perlahan dilupakan.
Pantai MAF dulu kini sekarang Nabire
kau indah seperti ibu yang tabah.
Namun tubuhmu tercabik
oleh tamu-tamu yang tak tahu arah.
Kami pun begitu,
indah dalam akar budaya,
tapi terluka oleh sistem yang tak peduli
pada suara jiwa-jiwa kami.
Wahai engkau yang datang dan pergi,
jangan tinggalkan sampah
di pasir Nabire,
dan jangan tinggalkan luka
di hati anak-anak Papua yang tak bersalah.
Karena pantai ini bukan hanya tempat wisata,
ia adalah cermin kami
jiwa kami, rumah kami,
yang ingin tetap bersih…
seperti harapan yang belum mati.
Jhon Minggus Keiya
Pantai Nabire, 27 Juni 2025