Oleh Fransiska Edowai
Para siswa Sekolah Dasar Inpres Negeri (SDIN) Diyeugi telah menyelenggarakan praktek muatan lokal (selanjutnya akan dibaca mulok). Praktek mulok ini dilaksanakan oleh para siswa kelas VI di halaman depan SDIN Diyeugi pada Sabtu 27 April 2024. Mereka berjumlah 11 anak. Nampaknya, ada satu siswanya tidak sempat ikut karena sakit malaria. Dia bernama Yulita Tagi. Sesuai keterangan teman-teman sekolah dan bersama guru kelas mereka, kondisi Yulita semakin parah, sehingga dia sudah harus beristirahat di rumahnya sendiri. Tapi Yulita tetap mendapat tugasnya sebagai peserta praktek untuk memenuhi standar kelulusan. Melalui kedua orang tuanya, anak Yulita tetap membawa dan menyerahkan noken sekolah kepada gurunya untuk diberikan nilai ujian praktek bagianya.
Bila diamati langsung dari dekat, dialog kerja adat ini nampak amat menarik karena mengandung tiga (2) kegiatan luhur dalam budaya manusia Mee di Mapia yakni mencari berudu-katak, berburu kuskus di hutan dan memasang api tradisional. Menurut ceritera para siswa kelas VI, ketiga kegiatan luar biasa ini merupakan bagian tak terpisahkan dari mata pencaharian utama dalam tradisi dan budaya Mee di Mapia. Maka praktek mulok seperti ini dipandang bersama sebagai suatu upaya untuk membangkitkan semangat HIDUP ke-Mee-an bagi peserta didik dalam dunia pendidikan. Intinya, ketiga kegiatan mulia itu sudah sebenarnya memperlihatkan apa makna kehidupan sejati dari suku Mee dalam dunia pendidikan sekarang dan ke depan.
Mencari Berudu-Katak
Anak-anak seusia ini biasa dibekali dengan keterampilan mencari berudu dan katak. Tugas ini bisa dilaksanakan oleh kaum perempuan Mapia. Orang Mee di bagian lembah seperti kamuu, Deiyai dan Paniai jarang mencari berudu. Sebab mata pencarian utama mereka ialah mencari ikan di danau dan kali. Mereka jarang mencari berudu dan katak di kali, meskipun sudah pernah dibekalinya oleh setiap orang tua di sana.
Agar budaya mencari dan berburu itu tidak dilupakan, maka setiap anak kecil itu biasa diajak ke kali dan di hutan oleh setiap orang tua mereka. Kegiatan ini biasa dimulai dengan membuat noken dan anak panah buat anak mereka. Karena adanya tugas pokok bagi seorang anak laki-laki dan perempuan dalam budaya manusia Mee di Mapia. Menyadari atas tugas pokok itu, setiap orang tua terlebih dahulu biasa menganyam noken berudu dan katak buat anak-anak perempuan mereka.
Noken berudu dan katak itu biasa berbentuk pukat atau jaring bulat. Noken berudu itu biasa disebut Ebau dalam Bahasa Mapia. Bahan dasarnya langsung diambil dari serat pohon. Dengan menggunakan upaa (pisau batu) dan haboo (kapak batu), setiap mama di Mapia biasa menebang pohon noken di hutan miliknya sendiri. Pohon pilihannya ialah deta, timuu dan pohon gaii. Pohon-pohon inilah yang biasa digunakan untuk membuat noken berudu dan katak. Mereka biasa mengupas kulit luar, memeras getah-getahnya dan membawa pulang semua kulit halusnya ke rumah.
Sesampai di rumah, serat pohon itu biasa dijemur di perapian api. Pada siang hari, serat pohon itu biasa dijemut di terik matahari. Proses penjemurannya biasa memakan waktu tiga hari. Setelah kering total, serat pohon itu biasa memintal. Mama-mama biasa menganyam di atas pahanya sendiri.
Mereka membentuk mata dalam bentuk dua cabang tali untuk melilit menjadi seuntai tali. Agar tidak sakit paha dan bisa dipintal dengan halus, maka mama-mama biasa menggunakan abu dapur. Abu dapur itu biasa digosok pada bagian atas paha. Proses ini membuat paha mama menjadi halus untuk secara bebas dan kreatif melilit helaian-helaian serat kayu. Mama-mama mulai bisa membalut tali secara teliti, penuh perasaan dan dengan segenap jiwa mereka. Mata tali yang menyambungkan dua cabang serat kayu ini dibalut sedemikian panjang sehingga mereka menghasilkan seuntai balutan. Proses ini dibuat mereka sampai menghasilkan 12-20 balutan tali. Bentuk lilitan itu seperti tali manila atau benang woll.
Noken berudu itu biasa dimulai dari dasar atau dubur noken. Dari dubur, mama-mama biasa membentuk dinding noken. Sampai pada tahapan mulut noken berudu, mama-mama biasa membuat bingkai lingkar. Bingkainya dibuat sesuai ukurang mulut noken berudu. Satu-satunya jenis pohon untuk membuat bungkai mulut noken ialah pohon Potii. Biasa digunakan sebatang pohon seukuran jari tengah seorang mama. Tingginya berukuran 100 meter dan bisa dibuat melengkung serta bisa diatur lingkar lapis dua pada mulut noken berudu. Pada sebatang pohon inilah, mama-mama biasa melapisinya dengan ukuran tali yang agak besar. Sebatan pohon lingkar pada mulut noken ini dianyam dengan balutan tali secara rapat, bermata tujuh tali dan sempurna.
Suatu proses anyaman dengan balutan berlapis-lapis pada batang pohon seperti ini dipandang amat penting karena harus ada pengaman dari berbagai amukan sungai dan kali. Noken akan terbebas dari semua ancaman di kali dan sungai. Noken tidak akan bisa cepat rusak ketika mama menggunakannya dalam kondisi kali apapun. Kuat! Noken berudu inilah yang biasa dibuat untuk mama dan anak-anaknya sendiri di rumah.
Setelah anak sudah bisa berjalan sendiri, orang tua biasa mengajak anak-anak perempuan ke kali dan sungai. Anak-anak perempuan biasa disuruh membawa noken berudunya sendiri di kepala. Sampai di kali, seorang mama biasa melatih cara memegang Ebauu, cara mencari dan mengambil berudunya dari Ebauu. Berudu lebih banyak biasa dicari pada aliran air yang terjun dari antara dua buah batu besar. Pada titik aliran air terjun ini, mereka biasa mencari berkali-kali. Mereka biasa mendapat banyak berudu dan mengisinya sampai dua-tiga buah bambu penuh. Pada mulut bambu-bambu berudu biasa ditutup dengan sayur paku yang rasanya paling sedap di tulang.
Berburu Kuskus di Hutan adat
Kegiatan berburu merupakan suatu budaya yang wajib diwarisi oleh kaum laki-laki di Mapia. Seperti sesama Mee di Meeuwo secara umum, anak-anak laki-laki di Mapia biasa dibekali dengan keterampilan berburu kuskus di hutan miliknya sendiri. Anak panah untuk berburu itu biasa digunakan setelah mereka melewati tahapan masa kanak-kanak. Pada usia 10 tahun ke bawah, anak-anak laki-laki biasa menggunakan bedouka-bedoti. Istilah bedouka-bedoti ialah anak panah kecil yang bisa digunakan untuk permainan tumbuh-tumbuhan di hutan dan memanah burung/ tikus di kebun.
Namun menurut ceritera dongennya, anak-anak kecil dari Mee di Mapia pernah memanah induk babi hutan, tepat di dekat kebun. Mereka memanahnya saat induk babi hutan dengan anak-anaknya sempat mencungkil keladi hutan di dataran rendah. Dataran rendah adalah habit utama bagi komunitas babi hutan. Para hewan biasanya lebih cocok hidup dan berkembang biak di sana.
Di saat yang berbeda, ada ceritera memanah seekor kasuari dan satu anaknya. Peristiwa menarik dalam dongen ini telah terjadi ketika seorang anak piatu yang paling kecil itu menelusuri kali dengan anak panah kecil. Sementara kedua orang tuanya dibiarkan kerja dan mengelolah tanah di kebun baru. Sebelah barat kebun itu terbentang suatu kali yang paling dalam dan panjang. Seorang anak itu berburu tikus di kebun. Dia mulai melompat pagar kebun bagian bawah. Tidak jauh dari lokasi kebun, anak yang terlatih secara ajaib itu mendapati seekor kasuari dengan anaknya di sana. Dipandang dari dekat, seekor kasuri itu sedang memakan bibi-biji pasir di pinggir kali. Dia langsung memanahnya tepat di kepala. Kedua kaki dari seekor kasuari yang tua itu langsung mencungkil batu kali. Itu pertanda seekor kasuari mati lemas di tempat.
Seorang anak kecil yang penuh energik itu segera melepaskan anaknya dari induk. Dia mengusir dan membiarkan seekor anak kasuari di tengah induk-induk yang lain. Diharapkan semoga anak kasuri itu bisa berkembang biak di hutan. Dia bisa hidup bahagia bersama sekomunitas hewan lainnya. Dia kembali pulang di tempat induknya ditembak mati tadi. Dia segera mengambil hasil buruan pertamanya. Dia memikulnya di atas pundaknya. Dia membawa pulang dan meletakan di depan kedua orang tuanya, tepat di kebun. Setelah mendengar ceritera perjalanan berburu seorang anak mujarab itu, kedua orang tuanya mulai memuji perbuatan sang anak mereka, yang memperlihatkan pewarisan kehidupan harmoni antara manusia dan komunitas hewannya.
Tanpa mengurangi ceritera berburu masa lalu, orang tua sekarang juga biasa mempersiapkan anak panah buat anak-anak mereka di rumah. Anak panah untuk berburu kuskus di hutana itu disebut ikaa-mapega dalam bahasa Mee. Seperti noken, bahan anak panah juga biasa diambil dari hutan miliknya masing-masing. Menurut pengamatan saya, busur-busurnya itu dibuat dari pohon jenis tipuu dan obeigee. Dua jenis pohon ini termasuk bahan pilihan busur yang paling diminati hampir semua laki-laki di Mapia. Mereka biasa membuat busur dari kedua bahan ini.
Alat yang biasa digunakan dalam proses pembuatan busur ialah parang, pisau, rotan dan kotoran madu hutan. Parang ini digunakan untuk memotong, membelah dan mencincang daging busur. Sementara pisau digunakan untuk menghaluskan bentuk dalam dan luar busur. Juga untuk membentuk mata busur/ badan busur (ukamaa), menngikis serat tali rotan busur (oneukaa-muno deii) dan membuat balutan tali rotan pada kedua mata busur (ukaa-taboo).
Selain itu, pisau juga biasa digunakan untuk membuat anak panah. Di hutan miliknya ada banyak tumbuhan jubi. Jubi harus diambil sesuai ketersediaan mata busur. Kulit-kulit jubi biasa dibersihkan ketika dipotong dari hutan. Kemudian, jubi-jubi pilihan itu biasa dibawa pulang ke rumah. Dia memanggulnya di atas bahu. Setelah memasang api sampai bernyala-nyala, maka seorang anak harus memanaskan jubi-jubinya secara satu persatu. Pada bagian jubi yang nampak bengkok, anak laki-laki mulai meluruskan dengan jari-jemari kedua tangan dan dengan gigi-gigi depan. Kesemua jubi itu biasa dibentangkan di atas para-para api agar dapat mengeras secara otomatis dan lurus.
Kegiatan lainnya ialah memahat mata-gigi busur sampai runcing dan membentuk bibir panah. Ada enam (6) jenis busur yang biasa dibuat oleh orang tua kami yakni detaii, pogo, aweha dan geketaka serta enika serta puguto. Semua mata busur itu biasa dipasang pada ujung mata jubi. Daging dalam jubi biasa dikeluarkan dengan sebilah bambu runcing. Hal ini dilakukan memesukan mata sebilah bamboo runcing ke dalam ujung jubi, disisip rapat di antara kedua kaki dan memutar batang jubi dengan kedua tangan. Serat jubi akan keluar secara otomatis selama batang jubinya diputar-putar dengan kedua tangan seorang lelaki. Mata panah-panah bisa segera dipasang setelah dibalut dengan sebilah rotan pada mata jubi yang paling ujung atas.
Apabila dianalisis secara mendalam, ada banyak pelajaran kehidupan yang bisa kita belajar dan wariskan dari agenda adat ini. Berdasarkan pengalaman, budaya berburu seperti ini merupakan arti konkret dari kehidupan Mee sebagai manusia sejati. Kesejatian orang Mee semakin nampak selama kegiatan budaya seperti ini dilaksanakan oleh kami dalam kehidupan konkret. Kami menyadari bahwa ternyata ada banyak manfaat dari busur dan anak panah. Satu manfaat paling utamanya ialah detaii dan pogo bisa digunakan untuk berburu babi hutan. Sementara aweha itu digunakan untuk berburu kuskus. Kemudian enika dan puluto itu biasa digunakan untuk berburu burung di hutan. Jadi kesemua keterampilan berburu ini biasa diajarkan setelah anak-anak laki-laki mencapai usia 10 tahun ke atas.
Selama kegiatan berburu ini dilaksanakan, mereka lagi wajib membawa noken dan koba-koba. Semua hasil buruan biasa diisi dalam noken. Noken membawa arti kehidupan. Noken memenuhi kebutuhan pokok. Setiap mereka bisa bertahan hidup jika kegiatan berburu dilaksanakan dalam semangat noken. Sebab noken mengalirkan berkat dan kuasa kehidupan. Noken menguatkan jiwa setiap mereka untuk mencari dan berburu arti kehidupan bagi banyak orang.
Dalam noken-noken mereka ada banyak warisan nilai kehidupan. Setiap anak bisa dilindungi oleh noken-noken mereka. Perlindungan itu sudah terwujud dalam adanya koba-koba dalam noken. Koba-koba biasa dikeluarkan dari noken ketika ada turun hujan lebat dalam perjalanan berburu di hutan dan kali. Koba-koba itu biasa digunakan untuk melindungi diri dari terik matahari. Koba-koba juga digunakan ketika kami tidur di tungku api. Koba-koba biasa dibentangkan di dapur dan kami mulai terbaring di atasnya. Badan kami dibuat hangat dan tertidur nyenyak. Intinya kegiatan berburu mendapat kedudukan utama dalam noken demi memelihara arti kehidupan kesejatian di sekolah.
Memasang Api
Memasang api sudah tentunya merupakan sumber utama kehidupan manusia Mee. Ada empat manfaat yang paling pokok dari api dan atau tungku api ialah memasak makanan, menjemur badan dan menanggung asap serta menjadi sumber pengambilan inspirasi kehidupan Mee. Satu manfaat paling terbesar ialah sumber kekuatan Hidup. Api itu memberi anak-anak berjuta-juta energi. Ada banyak atom yang dihasilkan oleh api bagi jiwa dan raga anak-anak di Mapia. Karena itu, melalui praktek mulok, anak-anak dilatih untuk menciptakan api sendiri.
Caranya paling sederhan bagi anak-anak sekolah di SDN tersebut. Anak-anak sendiri mengambil pohon Denee untuk dijadikan Mamoo. Mamoo adalah gepe-gepe laki-laki untuk menghasilkan api. Kulitnya kuning dan tebal. Batangnya tak punya banyak ranting. Pohon Denee biasa bertumbuh di hutan buruan mereka. Dengan menggunakan parang, sebatang pohon itu biasa dipotong dan dibelah sengah seperti gepe-gepe. Kemudian dijemur selama enam (6) bulan di atas perapian api.
Selain bahan dasar ini, anak-anak juga harus menyiapkan seikat bambu. Mereka harus membelah bambu secara kecil-kecil. Kemudian, belahan-belahan bambu itu dilipat melengkung dan diikat dengan tali pada kesemua ijung bambu. Lalu seikat bambu mulai diletakkan bersamaan dengan mamoo di perapian api. Anak-anak sudah bisa menggunakannya sesuai kebutuhan setelah semua bahannya sudah nampak kering.
Dalam momentum praktek itu, setiap peserta dipertemukan dalam sebuah tungku api. Masing-masing hasil buruan mereka harus dikumpulkan dan dimasak bersama di tungku api. Seperti yang digambarkan dalam gambar di atas, anak-anak wajib mau mengelilingi tungku api. Agar bisa memasak hasil buruan, kaum laki-laki harus memasang api.
Salah satu anak laki-laki dari antara mereka mulai mengeluarkan teneii dan mamoo dari noken pribadi. Dia segera menaruh daun kering di tungku api. Di atas pancingan api itu, dia mulai menaruh tenei dan mamoo. Jari-jemari kaki seorang anak itu menekan batang mamoo ke bawah. Badan seorang laki-laki harus diatur seimbang dan menunduk ke bawah. Kemudian ujung sehelai bambunya mulai dipegang erat, ditarik naik dan menarik turun sampai putus di tangan seorang laki-laki.
Kegiatan ini menampung dan mengeluarkan daya tarik kelaki-lakian yang paling kencang. Urat-urat tubuhnya mulai nampak keluar ketika dia selama melakukan aktivitas memasang api (Teneii-geii). Nafasnya mesti menyimpan dalam dada dan dihembuskan secara perlahan-lahan sesuai irama daya kelaki-lakian. Daya tarik seperti ini lama-kelamaan menghasilkan kepulan asap tebal dan bara api yang besar dari mamoo. Kulit dan batang mamoo langsung tergesek dan digesek sampai kebakaran secara dalam-dalam akibat tarik-menarik teneii secara seimbang dan terus-menerus di atas tempat pancingan api. Agenda pasang api ini menegaskan betapa pentingnya memelihara kesehatan, menyatukan hasil buruan mereka di tungku api dan menghasilkan hidup yang lebih produktif bagi generasi penerus bangsanya. Saya percaya bahwa tulisan kritis saya ini sebenarnya menggambarkan apa saja luhur, suci dan mulia yang dipentaskan oleh anak sekolah di Mapia demi mendukung suatu proses pendidikan yang memerdekakan dan lebih manusiawi bagi bangsa kita dalam semangat pancasilais.
Penulis adalah Pelajar Papua di Jakarta.